Selasa, 12 Mei 2009

Bila Remaja Mblarah, Siapa Salah

Bila Remaja Mblarah, Siapa Salah

(Tanggapan Terhadap Tulisan: Jilbab Solusi Kasus Sosial)

Aku Ada Karena Kau Ada

Cinta adalah anugerah Yang Kuasa
Bila terasa betapa indahnya
Sungguh lemah diriku, tak berarti hidupku, bila kau tiada di sisi
Aku ada, karena kaupun ada
Sebab cinta, kau buat diriku hidup selamanya
……………………………………………………
(Radja Band)

Citra Cinta

Dihiasi alam manusiawi
Dengan cinta sebagai rahmat-Nya
Agar dapat hidup berkasih-sayang laki-laki dan perempuan
Agar dapat mengembangkan katurunan demi penerus perjuangan

Begitulah Tuhan meletakkan nilai cinta dalam kesucian
Jadi janganlah kau menyalahgunakan s’bagai pemuas nafsu syetan
Dan juga janganlah cinta kau jadikan alat pembuat kerusakan

Banyak sudah tunas-tunas muda berguguran sebelum berkembang
Korban dari nafsu birahi durjana yang mengatasnamakan cinta
Janganlah kau nodai citra cinta yang memang suci dan mulia

Syukurilah anugerah cinta
Pelihara nilai citra cinta
(Rhoma Irama)

‘ … 42% remaja usia sekolah di Jatim sudah pernah melakukan hubungan seksual …”. Begitu tulisan P. Jakfar Shodiq, S.Ag. (Jilbab Solusi Kasus Sosial) di majalah ini edisi lalu. Na’udzubillah min zdaalik. Rasanya kita prihatin, tak percaya dan bahkan menolak. Dan berharap, paling tidak, angka itu tak merepresentasikan lingkungan sekitar kita. Atau bisa jadi, sampel yang diambil adalah remaja perkotaan tertentu saja, atau hasil survey (yang dikutip) itu memang tidak akurat dan manipulatif. Bagaimana pun juga kondisi sosial budaya dan tingkat ketakwaan sangat beragam antara satu tempat dengan lainnya.

Tapi mari lihat potret keluarga dan masyarakat kini yang cenderung makin permisif (suka membiarkan saja perilaku asosial dan asusila), orang tua yang tak mau mengajak anaknya untuk ibadah (bahkan membiarkan anaknya tak mengerjakan); tayangan iklan dan hiburan di media massa yang gersang (seger merangsang) demi komersial semata dan tak mendidik kecuali agar konsumtif (senang belanja tapi malas kerja) , anak-anak remaja yang hedon (asal senang), yang selalu dituruti kemauannya oleh orang tua, ditambah tempat-tempat maksiat kini mudah di dapat; sementara si kecil Ponari dengan batu (yang katanya) ajaib, menarik ribuan orang mencari obat yang dianggap mujarab (sampai menelan 4 korban mati terinjak-injak). Kita jadi sadar, …. sungguh kondisi masyarakat kita sedang sakit.

Dalam keadaan tak sehat ini, virus-virus pemikiran mudah menjangkiti masyarakat, khususnya remaja. Sebutlah para selebritis yang dipopulerkan oleh mass media, banyak menularkan gaya hidup dan konsep hidup yang sembarangan dan seakan tak kenal aturan. Padahal model apapun dari mereka, dengan mudahnya ditiru dan menjadi gaya keseharian anak-anak muda kita. Slengekan (nge-slank), nge-punk rock, me-wahhh, ngegaya bak orang Barat yang kaya, begadang (dugem, dunia gemerlap) malam, serta tak terkecuali pergaulan dan seks bebas, sampai buyarnya rumah tangga mereka para idola itu, menjadi hal biasa di kepala pemujanya..
Sementara yang ada di balik penampilan luar para artis yang sedang naik daun (suatu saat pasti melorot dan akhirnya mati juga) itu, seperti perjuangan mereka sebelum dikenal, usaha mereka sampai ke manca Negara (untuk belajar vocal, acting, alat musik, manajemen, public relations, dsb.), kerja kreatif dalam berkesenian, kedisiplinan berlatih dan menjaga kebugaran, persaingan (bisnis dan popularitas) di dunia hiburan, tidak pernah jadi perhatian dan renungan penggemarnya. Apalagi bila produk ‘seni’ mereka akhirnya juga sekedar mengeksploitasi selera rendah dan miskin makna. Lengkaplah sudah ajaran hedonisme, konsumerisme dan liberalisme pada remaja.

Meski tak semua public figure demikian, tapi pengaruh dari yang sok modern kebaratan itu begitu dominan di media, di mana semakin edan justru semakin sering ditampilkan sampai masyarakat bosan. Contohnya goyang ngebor Inul (yang lalu). Dan yang demikian lantas jadi anutan. Apalagi bila filter nilai tidak ada. Katakanlah di rumah tak ditegakkan sembahyang, di (mushala) lingkungan tak hidup jamaah, lembaga sekolah lemah dalam kegiatan ilmiah dan ibadah; maka para idola itu gurunya, panggung hiburan kiblatnya, kongkow-kongkow tempat bercengkerama, dan ongkang-ongkang kaki duit banyak jadi cita-cita. Setelah itu pemuasan perut dan di bawah perut semaunya.

Kata orang dulu, setali tiga uang. Semuanya saling kait-mengkait. Maka bisa jadi benar angka 42% itu terjadi di Jatim. Bahkan www.bkkbn.go.id. akhir tahun lalu sempat merilis angka 63% remaja Indonesia pernah mencicipi seks pra-nikah dan ironisnya 21% di antaranya melakukan aborsi (pembunuhan bayi). Asytaghfirullahal ‘adhiem. Kita hanya bisa mengurut dada dan bergumam: apa memang kondisi sosial budaya kita sudah demikian parah?.
Atau bisa juga tetap tak percaya angka-angka itu. Karena saat ini agak sulit percaya pada orang ataupun lembaga. Termasuk terhadap lembaga pemerintah (BKKBN) sekalipun. Apalagi sudah terbukti beberapa lembaga survey ternyata rendah profesionalitas dan kredibilitas, tak layak dipercaya serta tendensius (ingat kasus Tabloid Monitor dulu), tak independen dan tergantung pesanan (dalam kasus kerja sama mereka dengan parpol atau kandidat peserta Pilkada dan pemilu tertentu). Sehingga banyak pemimpin parpol lainnya yang geram dan menyatakan tak percaya hasil-hasil survey. Dan belum lama ini, perang data antara Presiden SBY yang mengklaim penduduk miskin di Indonesia hanya sekitar 18% berdasarkan data BPS (lembaga pemerintah), sedangkan, salah satunya, Capres Wiranto (Ketua Umum Partai Hanura) menyatakan jumlah 49% berdasarkan data lembaga dunia PBB. Begitu jauh bedanya, mana yang benar? Jadi susah, mana yang dipercaya.

Rupanya dalam masyarakat demikian, sifat shidiq (jujur, fair) dan amanah (kredibel, bisa dipercaya) yang diajarkan Rasulullah SAW. kurang diteladani dan seakan langka. Bahkan terkesan lucu ketika dari ‘atas’ ada program ‘warung kejujuran’; yang patut dipantau ini anak-anak kelas teri atau bapak-bapak kelas kakap? Kayaknya yang dewasa lupa diri, merasa lebih suci dan cenderung menyalahkan yang muda. Padahal apapun yang dilakukan anak-anak muda adalah tak lebih dari hasil didikan dan pengaruh yang diterimanya. Bukankah orang dewasa yang kini pegang kendali kehidupan, dan anak-anak itu baru calon penerusnya? (shubbanul yaum arrijalu ghaad). Kasihan sekali, anak-anak kita mewarisi tata kehidupan yang semrawut.

Jadi remaja yang berzinah tak salah? Anak-anak penganut madzab pergaulan bebas tak diingatkan? Tentu tidak demikian. Seperti formula yang sudah sering dikemukakan dalam menghadapi berbagai persoalan, hendaklah jangan dilihat secara parsial (sempit per bagian) pada kasus itu an sich, tetapi harus menyeluruh (wholistic). Tak ada asap, kalau tak ada api. Maka, meski si remaja jelas salah (terbebani dosa dan tentu menanggung akibatnya di dunia dan akhirat), tetapi orang tua, keluarga, pihak sekolah, (pemimpin) lingkungan dan masyarakat, pemilik media massa, dan para public figure semuanya turut bertanggungjawab atas terjadinya kesalahan itu. (kullukum raa’in wa yas a lukum ‘an ra’iyyatiy). Tidak bisa menyalahkan si remaja begitu saja.

Ingat, kehidupan laksana sebuah perahu. Apapun yang terjadi merupakan tanggung jawab semua awak dan penumpang perahu itu. Bila perahu itu penuh sampah, atau bocor dan bahkan tenggelam, semua akan merasakan akibatnya. Hanya orang-orang yang berpegang pada kebenaran saja, yang tidak mudah terhanyut oleh arus, yang tidak akan tenggelam dalam gelombang samudera kehidupan, yang bisa selamat di pantai tujuan. Berlabuh di sebuah taman keindahan yang bernama jannatun na’im (surga yang penuh kenikmatan sejati). Di mana di situ Allah ridha pada mereka, dan mereka pun ridha pada-Nya. (radliya Allaahu ‘anhum wa radluu ‘anhu) (QS. 98:8).

Akhirnya, saya jadi teringat konsep perubahan mendasar (ada yang bilang fundamental atau radikal) terhadap sistem dan tata kehidupan kita yang sering ditawarkan sebagian teman. Tetapi, saya kira, yang penting sekarang mari selamatkan diri sendiri, dan keluarga, dari ancaman pedihnya siksa neraka (quw anfusakum wa ahlikum naaran).
· Bambang S.

21. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (TQS. Ar Ruum: 21)

54. Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah[1070] dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa. (TQS. Al Furqaan: 54)

[1070] Mushaharah artinya hubungan kekeluargaan yang berasal dari perkawinan, seperti menantu, ipar, mertua dan sebagainya.

Sekolah Mana, Guru Siapa

z Opini 1

Sekolah Mana, Guru Siapa yang Anda Cari, Orang Tua?

Tiap-tiap sekolah jelas tidak sama satu dengan lainnya. Ada yang katanya unggulan, ada yang bersifat sosial karena murah, dan ada juga yang biasa saja. Penilaian ini bersifat relatif karena tinjauannya bisa dari beragam sudut pandang. Mulai fasilitas belajar, kedisiplinan siswa, prestasi yang diraih, kualitas lulusan, sampai siapa guru-guru dan kepala sekolahnya serta berapa besarnya uang bulanan,.

Visi dan misi setiap sekolah juga tak sama. Masing-masing punya sesuatu yang ditonjolkan, atau keunggulan dan karakteristik yang berbeda-beda. Sehingga membandingkan satu sekolah dengan lainnya sebetulnya tidak mudah. Yang penting semua lembaga itu berkomitmen untuk maju sesuai tujuan dan realitas yang dimiliki.

Memang lembaga pendidikan tertentu tak jarang jadi dambaan orang. Di tingkat perguruan tinggi sebut saja Harvard University di USA dan juga Universitas Al Azhar di Mesir begitu termasyhur. Beberapa perguruan tinggi Indonesia baik negeri maupun swasta lainnya juga begitu diandalkan. Sebut saja UI, UGM, ITS, UM, UNESA dll.

Untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah juga dikenal beberapa sekolah dan pondok pesantren unggulan. Pondok Pesantren Modern Gontor, misalnya, diakui sangat bagus proses pendidikannya. Para orang tua senang dan bangga karena anak mereka mendapat layanan pendidikan yang diharapkan. Setelah lulus mereka umumnya mudah melanjutkan ke jenjang berikutnya.

Sayangnya terlalu sedikit jumlah sekolah atau pondok pesantren yang mampu mengelola pendidikan seperti itu. Tak heran, lembaga survey dan penelitian internasional menilai pendidikan Indonesia tak seberapa. Ranking berada di papan bawah, jauh tertinggal dari negeri jiran Malaysia, juga tetangga ASEAN lainnya. Ironisnya, kita terkesan tak berdaya untuk keluar dari keterpurukan, dan tak tahu dari mana mengurai benang kusut permasalahan yang ada.

Kurangnya kesejahteraan guru, etos kerja rendah, ditambah kurangnya kejujuran dan keikhlasan dari banyak pihak (ESQ rendah), tak bisa dibantah. Manipulasi data, korupsi bantuan pendidikan, sistem manajemen yang lemah dan tidak transparan ikut memperparah lembaga sekolah. Juga pelanggaran etika intelektual tak sulit dijumpai di dunia ilmiah kita.

Bagaimana mungkin pendidikan di Indonesia bisa menghasilkan generasi yang unggul imtaq dan iptek, bila masalah yang mendasar itu terus mencengkeram bahkan seakan membudaya? Jangan salahkan bila pendidikan kita dianggap tidak mencerahkan, serta sistem dan kurikulum yang gonta-ganti itu jadi bahan selorohan.

Orang tua yang secara ekonomi cukup mapan dan berpandangan ke depan, tak asal pilih sekolah. Mereka berusaha mencari lembaga terpercaya yang akan membentuk karakter pribadi darah-dagingnya. Mereka menyadari bahwa anak yang baik (shalih/shalihah) adalah aset dan investasi yang tak terbandingkan. Hingga biaya yang mahal dan jarak yang jauh sementara tak terlalu diperhitungkan.

Namun, cukupkah pendidikan anak dengan mengirim ke sekolah? Apakah orang tua bisa lepas tangan dengan mendelegasikan tugas pengasuhan pada sekolah? Bagaimana bila kelak si anak berhasil lulus dengan baik tapi tak hormat pada mereka? Bagaimana bila si anak pintar suka menginjak-injak nilai-nilai agama, satu-satunya yang menjamin ketenangan dan kebahagiaan di dunia?

Fenomena sekarang, banyak dijumpai kejahatan yang justru dilakukan orang-orang berpendidikan (white-collar crime). Mulai korupsi, kolusi, manipulasi, hingga penghilangan hak hidup sesama insan. Saat ini tak sulit mencari orang berpendidikan tinggi yang meringkuk di bui. Banyak mantan dan anggota dewan terhormat, menteri, kepala daerah, gubernur bank, petinggi tentara maupun polisi serta pejabat lainnya kini berstatus napi.

Sekolah atau rumah yang salah?

Pendidikan di sekolah, dengan 2 jam pelajaran agama seminggu, rasanya tak cukup membentuk pribadi mulia (akhlaqul karimah). Para guru semuanya tak mampu membentuk mindset (pola pikir) anak agar genah (semestinya). Sekolah sekedar memberi ketrampilan dan kecerdasan intelektual. Sedangkan aspek keimanan dan ketaqwaan hanya jargon belaka.

Sedang di rumah orang tua lupa perannya untuk jadi guru dan teladan utama bagi anak-anaknya. Norma-norma di rumah tak punya rujukan. Apalagi bila tak ada ibadah, jelas kehidupan mereka tak terarah. Kehidupan keluarga seperti itu gersang, tak ada ketenangan, jauh dari hidayah Tuhan. Generasi macam mana yang lahir dari didikan seperti itu?

Setiap yang dilahirkan berada dalam kesucian. Orang tualah yang menjadikan anak itu Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Begitu statemen Nabi Muhammad SAW, yang menekankan bahwa sekolah pertama dan utama adalah keluarga.
Kita tidak lupa dengan ungkapan kacang ora ninggal lanjaran, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Itu artinya anak adalah cerminan dari orang tua atau keluarga yang mengasuhnya. Meski guru dan sekolah pada hakikatnya juga orang tua dan keluarga, namun pembiasaan nilai yang efektif dan lebih lama adalah oleh orang tua di rumah.
Bilamana diandaikan orang yang diasuh keluarga harimau akan meniru induk semangnya itu, bias jadi koruptor negeri ini sempat diasuh keluarga tikus.
(Bambang S)

Opini 2

Ilmu Laksana Pedang Di Tangan
(Untuk Pendekar Ngademin Demen Degan)

Dengan kecerdasan, akal bisa memilah dan memilih sesuatu, serta mampu menghubungkan satu hal dengan hal lainnya. Dengan itu pula bisa bersikap setuju atau tak setuju, mengiyakan atau berkata tidak. Tapi, tanpa wawasan serta data yang relevan, akurat dan valid (shahih), orang cenderung bersikap ngawur dalam mengambil keputusan. Orang cenderung ikut-ikutan, atau menuruti perasaan saja.

Dengan kepandaian yang dimiliki, orang bisa mengupas persoalan sehingga mudah dicerna dan dipahami. Inti dari sebuah permasalahan akan terlihat, setelah dikupas oleh ahlinya. Lebih gamblang lagi bila analisanya disampaikan dengan bahasa yang lugas, sederhana, dan komunikatif. Tentu untuk bisa seperti ini harus melalui tempaan dan asahan.

Sebuah masalah yang besar ibarat batu karang yang menghalang, bisa diatasi dengan pikiran yang jujur-jernih disertai kesabaran, ketabahan. Bila perlu dengan ketegasan yang yang ditunjang sikap berani memihak kebenaran. Dan dengan petunjuk Tuhan kebuntuan dapat terkuakkan, dan terbuka jalan perjuangan menuju cita-cita akhir kehidupan.

Walaupun begitu, tak semua orang selalu tercerahkan oleh cahaya pengetahuannya. Tidak sedikit orang berpendidikan yang gagal mengenal dan mengendalikan dirinya. Hingga ketika menghadapi kebuntuan mereka menabrak batas-batas kepatutan, atau ketika di persimpangan mereka membelok ke lembah kerendahan. Mereka tak malu pada manusia paling utama Nabi Muhammad SAW yang mengatakan bahwa jihad yang paling akbar ialah melawan hawa nafsu sendiri.

The man behind the gun, begitu sebuah pepatah. Berguna dan berbahayanya senjata tergantung siapa tuannya. Juga manfaat dan tidak bermanfaatnya pengetahuan tergantung siapa orangnya. Ada orang pintar tapi pekerjaannya tak lebih dari merekayasa persoalan alias suka menipu (manipulasi). Niat kerjanya tak lebih demi urusan perut dan di bawah perut sendiri, serta lupa hala-haram. The end justifies the means. Tujuan menghalalkan segala cara.

Memang, peradaban baru bisa maju bila digerakkan oleh pribadi yang cerdas, berwawasan dan kreatif. Namun tanpa ketaqwaan dan akhlaq mulia dari para pemimpin dan cendekiawan, dunia akan semakin berbahaya dan menakutkan. Lebih berbahaya dari pada dihadang oleh preman bodoh yang mudah dirayu dengan kata-kata, atau yang gampang dirobohkan dengan satu-dua jurus saja.

Lihat saja peperangan yang menggunakan senjata canggih. Daya hancurnya jauh lebih dahsyat dan mengerikan dari pertarungan para pendekar digdaya. Pencurian (korupsi) oleh orang-orang pintar, sering jauh merugikan dari pada dijarah oleh perampok preman yang bersenjata parang. Meski tak ada yang mau pilih satu di antaranya.

Ilmu tak selalu mencerahkan dan memudahkan jalannya kehidupan (al ‘ilmu nuurun). Ia laksana pedang bermata dua yang sangat berguna bila di tangan pembela kebenaran , tapi amat merugikan bila di tangan (primus = pria muka) setan. Ia pun bagaikan api yang amat kita perlukan, namun juga bisa membakar. Meski begitu, jelas bodoh orang yang tak berilmu. Apalagi orang yang tak mau mencari ilmu. Betah amat dalam ketidaktahuan!

Dua ayat Al Qur’an antara lain menyebutkan bahwa tidaklah sama yang berilmu dan yang tidak berilmu. Dan Tuhan meninggikan derajat orang beriman yang berpengetahuan.

(Apakah kamu, hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakalah yang dapat menerima pelajaran. (QS 39 Az Zumar: 9).

Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. 58 Al Mujaadalah: 11) (BS)

Pendidikan Untuk Perubahan

Di antaranya Menkominfo Prof. Dr. H. Muhammad Nuh, DEA, ketika masih menjabat Rektor ITS, dan Bupati Lamongan H. Masfuk, S.H. yang berpendapat bahwa pendidikan seseorang bisa mengubah kondisi diri dan keluarga mereka. Karenanya, kedua pemimpin itu merealisasikan ide tersebut dengan memberikan beasiswa atau kemudahan belajar kepada para pelajar dari keluarga kurang mampu untuk menempuh pendidikan tinggi.

Hal itu diyakini sebagai bagian dari upaya pengentasan kemiskinan yang masih mendera sebagian besar masyarakat kita. Seperti di Lamongan, dengan menguliahkan sekitar tiga ratus pelajar (yang sungguh-sungguh belajar) dari keluarga kurang mampu tiap tahunnya, sama dengan mengentaskan kemiskinan keluarga sejumlah itu.. Minimal ketika mereka sudah sarjana, diharapkan bisa membantu orang tua dan keluarganya. Atau paling tidak, kelak mereka bisa mentas sendiri dan tak menjadi beban orang lain.

Kita pun ingat Ibu R.A. Kartini yang ikhlas membagi ilmunya pada masyarakat sekelilingnya dan memperjuangkan akses pendidikan bagi bangsanya. Ia tak ingin pintar sendiri dan menikmati privilege atau keistimewaan sebagai anak bangsawan yang boleh sekolah, sementara rakyatnya khususnya kaum perempuan harus hidup dalam gelapnya ketidaktahuan. Karena ilmu adalah cahaya kehidupan (al ‘ilmu nuurun). Itulah mengapa gagasan-gagasan yang ia tulis dalam berlembar-lembar surat kepada JH Abendanon, sahabat penanya di Belanda, akhirnya tersusun dalam buku dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis Tot Licht).

Kiranya pendidikan adalah modal perubahan bagi pribadi dan masyarakat. Dengan bekal ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang didapat, seseorang dapat menghadapi kehidupan lebih mudah. Tanpa itu, apa yang bisa diperbuat? Dan dengan keimanan dan ketaqwaan, seseorang mengetahui arah dan tujuan hidupnya, serta tahu kepada Siapa ia nanti memtanggungjawabkan segala yang pernah dilakukannya. Tanpa imtaq, ia tersesat, ibarat pengelana yang tak tentu arah pengembaraannya.

Sebagai umat Rasulullah Muhammad SAW, kita pun diperintahkan menuntut ilmu walau ke negeri (bangsa) Cina. Dan kewajiban ini berlaku baik bagi muslim laki-laki maupun perempuan, jadi tak dibedakan, dari buaian hingga masuk liang lahat. Bahkan mengingat pentingnya literacy (melek huruf) ini, dalam sejarah peperangan antara orang beriman dengan orang kafir, para tawanan musuh oleh Nabi disuruh mengajar membaca dan menulis kepada kaum muslimin yang masih ummiy (buta huruf), untuk kemudian dibebaskan.

Dahsyatnya pesan kehidupan ini ditunjukkan dengan wahyu pertama yang diturunkan pada Beliau: Membacalah!(QS.96:1). Juga disebutkan bahwa Allah meninggikan orang yang beriman dan berpengetahuan beberapa derajat (QS.58:11). Sampai pula dikatakan bahwa orang yang (bisa) takut pada Allah hanyalah orang yang berilmu (innamaa yakhsyallaahu min ‘ibaadihil ‘ulamaa’). Dan tidak dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang menggunakan akal.(QS. 2: 269). Dan banyak lagi ayat-ayat yang menantang kita untuk menembus langit dan bumi.

Jadi sungguh mulia orang-orang yang mau menuntut ilmu. Karena itu artinya ia mengarahkan hidupnya pada ketinggian derajat di sisi Tuhannya. Betapa mulia pula para guru, pemimpin dan siapapun yang mempermudah (memfasilitasi) orang lain untuk mendapatkan ilmu. Itu artinya mereka mempermudah jalan kebahagiaan sesama. Sehingga bila tiap-tiap pribadi dan seluruh masyarakat cukup bekal iptek dan imtaq, akan tercapailah tujuan menciptakan masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Maka tak lupa kita bersyukur dan mengapresiasi penetapan dan realisasi anggaran 20% dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) untuk bidang pendidikan. Ini adalah kebijakan nyata untuk meningkatkan kualitas kehidupan bangsa Indonesia. Sejatinya kita juga sudah lama paham tentang kebutuhan sumber daya manusia (SDM) yang handal. Tanpa ini, kekayaan sumber daya alam (SDA) yang berlimpah pun tak ada artinya.

Barangkali kita agak telat menseriusi persoalan mendasar ini. Dan jujur saja, terlalu banyak energi, waktu, dan sumber daya kita yang terbuang untuk hal-hal yang kurang menghasilkan manfaat bahkan merugikan (kontra-produktif). Sebagai pribadi dan sebagai bangsa kita tak boleh dilecehkan orang. Tapi kita tak perlu gila hormat atau suruh-suruh orang lain menghargai kita, apalagi bila memang rendah kualitas kita.. Justru kitalah yang harus benahi diri (bangsa) kita sendiri. Dan kita pun yakin, untuk berubah ke arah yang lebih baik, lewat pendidikanlah jalurnya. Maka demi Tuhan, mari berjihad (bersungguh-sungguh) menempuh jalan ini! Lillaahi ta’ala.
Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wa barakatuh.

bs 1971-2034
Email: b.sugiharto@ymail.com

Ilmu Bagai pedang

Opini
Ilmumu Bagai Pedang Api Bermata Dua
The man behind the gun
Dengan bekal ilmu pengetahuan, akal bisa memilah dan memilih sesuatu dan mampu menghubungkan satu hal dengan hal lainnya. Setelah itu orang bisa bersikap setuju atau tak setuju, mengiyakan atau berkata tidak. Tanpa wawasan dan data yang relevan, orang cenderung bersikap ngawur, ikut-ikutan, atau menuruti perasaan saja. Atau terjebak menjadi peragu yang lamban dalam mengambil keputusan.
Dengan pengetahuan yang dimiliki, orang bisa mengupas persoalan sehingga mudah dicerna dan dipahami. Inti dari sebuah permasalahan akan terlihat, tak lagi gelap, setelah dikupas oleh ahlinya. Lebih gamblang lagi bila analisanya disampaikan dengan bahasa yang lugas, hasil pemikiran cerdas atau logika cemerlang. Tentu untuk bisa seperti ini harus melalui tempaan dan asahan.
Bahkan masalah yang besar ibarat batu karang yang menghalang, bisa diatasi dengan pikiran yang jujur-jernih disertai kesabaran, ketabahan, ibarat air yang terus menetes tanpa henti. Bila perlu dengan ketegasan yang yang ditunjang sikap berani memihak kebenaran. Dengan begitu kebuntuan akan terkuakkan dan terbuka langkah meneruskan perjalanan menuju cita-cita akhir yang didambakan.
Namun begitu, tak semua orang selalu tercerahkan oleh cahaya pengetahuannya. Tak sedikit orang yang terdidik yang suka gelap mata. Mereka gagal mengenal dan mengendalikan dirinya. Hingga ketika menghadapi kebuntuan atau di persimpangan, ilmunya justru menuntunnya ke arah yang keliru. Jadilah mereka terjerembab ke lembah kerendahan. Oh, benarlah kata Nabi Muhammad SAW bahwa jihad yang paling akbar ialah melawan hawa nafsu. Dengan membuka mata hati.
The man behind the gun, begitu sebuah pepatah. Berguna dan berbahayanya senjata tergantung siapa yang membawa. Juga manfaat dan tidak bermanfaatnya pengetahuan tergantung siapa ilmuwannya. Ada orang pintar tapi pekerjaannya tak lebih dari merekayasa persoalan atau pinter minteri. Nawaitu-nya cuma demi urusan perut dan di bawah perut sendiri, yang lantas merugikan orang dan akhirnya pun menjerumuskan ia punya badan.
Lantas takutkah kita jadi orang pintar? Tentu tidak. Peradaban akan maju bila digerakkan oleh pribadi yang cerdas dan kreatif. Namun tanpa taqwa dan akhlaq mulia, dunia akan semakin menakutkan dan berbahaya bila dikuasai orang demikian. Lebih berbahaya dari pada dihadang oleh preman bodoh yang mudah dirayu dengan kata-kata atau gampang dirobohkan dengan satu-dua jurus saja.
Lihat saja peperangan yang menggunakan senjata canggih. Daya hancurnya jauh lebih dahsyat dan mengerikan dari pertarungan para pendekar digdaya. Pencurian (korupsi) oleh orang-orang pintar, jauh merugikan dari pada dijarah oleh perampok bercadar yang bersenjata parang. Meski kita tak inginkan keduanya. .
Bila demikian, ilmu tak lagi menjadi cahaya yang mencerahkan dan memudahkan jalannya kehidupan (al ‘ilmu nuurun). Ia memang ibarat pisau bermata dua. Ia di satu sisi sangat berguna, tapi di sisi lain juga berbahaya. Ia pun bagikan api yang amat kita perlukan, namun juga bisa membakar. Walaupun begitu, jelas bodoh orang yang tak berilmu. Apalagi orang yang tak mau mencari ilmu. Betah amat hidup dalam ketidaktahuan!
Salah satu dari sekian banyak ayat Al Qur’an menyebutkan bahwa:
(Apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (QS 39 Az Zumar: 9).
Tuhan sendiri sangat menuntut hamba-Nya agar berpengetahuan seluas-luasnya. Biar mengetahui seberapa besar kekuasaan Allah. Tanpa ilmu pengetahuan yang banyak, keimanan seseorang pada Tuhan Pencipta Alam Raya ini patut dipertanyakan. Bagaimana bisa bilang Allahu Akbar bila tak memahami seberapa akbar ciptaan Allah.(bs)

Mengarungi Informasi

Salam Redaksi
Mengarungi Arus Informasi? Perahunya Dulu!

Pada era sekarang, dikatakan bahwa siapa yang menguasai informasi, dialah yang menguasai dunia. Ungkapan ini mengingatkan kelebihan Adam yang punya banyak data atas malaikat pada kisah awal penciptaan, hingga makhluk cahaya itu (kecuali iblis) rela sujud hormat pada sang manusia pertama atas perintah Tuhan.
Dikatakan juga sekarang jamannya iklan, banyak orang yang termakan oleh iklan. Maraknya iklan produk industri di media masa sampai iklan pencitraan diri para politisi begitu mempesona. Siapa yang tak cukup wawasan (kurang data dan masukan) akan mudah tergoda.
Para pemasang iklan itu pintar sekali menarik perhatian orang. Promosinya disampaikan secara memikat dan mengesankan. Di sinilah contoh bagaimana cara komunikasi yang efektif, gampang diingat (terlepas baik-buruknya), ditunjang media yang canggih supaya mudah diterima, dengan satu tujuan pasti: agar mau beli!
Sebagai sebuah lembaga layanan publik, sekolah juga memiliki banyak informasi yang perlu disampaikan. Baik untuk kalangan sendiri maupun kepada khalayak ramai. Artinya perlu media. Tentu saja, isinya haruslah menunjukkan kualitas layanan sekolah. Istilahnya, jangan hanya jual bungkus, isinya harus tetap dijaga.
Lebih lagi dengan fungsi sekolah sebagai lembaga kader pemikir dan (tidak hanya) pelaksana pembangunan bangsa, pasti membutuhkan wadah untuk mengolah dan merumuskan gagasan-gagasan dari civitas akademikanya. Ibarat lahan persemaian, dari sini diharapkan tumbuhnya bibit-bibit unggul yang nanti bisa diandalkan. .
Hanya saja, apresiasi terhadap media itu sendiri masih beragam di kalangan warga sekolah. Tidak heran, seperti pada masyarakat umumnya, kebiasaan membaca belum membudaya. Belum lagi mengakses informasi dari dunia maya (internet). Ditambah kemampuan tulis-menulis para guru dan siswanya hampir tak pernah diasah.
Jadi, rasanya kita belum pantas terjun untuk turut mengarungi era informasi yang semakin deras arusnya. Perahu media dan modal mental kita belum apa-apa. Bahkan sebagian kita belum tahu apa perlunya
Memang enak langsung ngomong dari pada baca (berpikir) dulu! Padahal semua tahu, untuk membuka jendela dunia, membacalah passwordnya.
Kitapun tidak lupa, untuk mengisi hidup beragama kita, sebagaimana perintah pertama pada Rasulullah SAW adalah: Iqra’. (Bacalah!)
Jadi, ayo senang baca! Agama dan negara menanti pengabdian kita. Wassalam,
Pemimpin Redaksi

Gus Miftah dan Gaya Bicara untuk Orang Pinggiran

Nik durung entek es tehmu, yo konoo terusno dodol,....goblok .. (Kalau es tehmu belum habis, ya sana teruskan jual  ..goblok ...) ...ha ha h...