Selasa, 12 Mei 2009

Pendidikan Untuk Perubahan

Di antaranya Menkominfo Prof. Dr. H. Muhammad Nuh, DEA, ketika masih menjabat Rektor ITS, dan Bupati Lamongan H. Masfuk, S.H. yang berpendapat bahwa pendidikan seseorang bisa mengubah kondisi diri dan keluarga mereka. Karenanya, kedua pemimpin itu merealisasikan ide tersebut dengan memberikan beasiswa atau kemudahan belajar kepada para pelajar dari keluarga kurang mampu untuk menempuh pendidikan tinggi.

Hal itu diyakini sebagai bagian dari upaya pengentasan kemiskinan yang masih mendera sebagian besar masyarakat kita. Seperti di Lamongan, dengan menguliahkan sekitar tiga ratus pelajar (yang sungguh-sungguh belajar) dari keluarga kurang mampu tiap tahunnya, sama dengan mengentaskan kemiskinan keluarga sejumlah itu.. Minimal ketika mereka sudah sarjana, diharapkan bisa membantu orang tua dan keluarganya. Atau paling tidak, kelak mereka bisa mentas sendiri dan tak menjadi beban orang lain.

Kita pun ingat Ibu R.A. Kartini yang ikhlas membagi ilmunya pada masyarakat sekelilingnya dan memperjuangkan akses pendidikan bagi bangsanya. Ia tak ingin pintar sendiri dan menikmati privilege atau keistimewaan sebagai anak bangsawan yang boleh sekolah, sementara rakyatnya khususnya kaum perempuan harus hidup dalam gelapnya ketidaktahuan. Karena ilmu adalah cahaya kehidupan (al ‘ilmu nuurun). Itulah mengapa gagasan-gagasan yang ia tulis dalam berlembar-lembar surat kepada JH Abendanon, sahabat penanya di Belanda, akhirnya tersusun dalam buku dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis Tot Licht).

Kiranya pendidikan adalah modal perubahan bagi pribadi dan masyarakat. Dengan bekal ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang didapat, seseorang dapat menghadapi kehidupan lebih mudah. Tanpa itu, apa yang bisa diperbuat? Dan dengan keimanan dan ketaqwaan, seseorang mengetahui arah dan tujuan hidupnya, serta tahu kepada Siapa ia nanti memtanggungjawabkan segala yang pernah dilakukannya. Tanpa imtaq, ia tersesat, ibarat pengelana yang tak tentu arah pengembaraannya.

Sebagai umat Rasulullah Muhammad SAW, kita pun diperintahkan menuntut ilmu walau ke negeri (bangsa) Cina. Dan kewajiban ini berlaku baik bagi muslim laki-laki maupun perempuan, jadi tak dibedakan, dari buaian hingga masuk liang lahat. Bahkan mengingat pentingnya literacy (melek huruf) ini, dalam sejarah peperangan antara orang beriman dengan orang kafir, para tawanan musuh oleh Nabi disuruh mengajar membaca dan menulis kepada kaum muslimin yang masih ummiy (buta huruf), untuk kemudian dibebaskan.

Dahsyatnya pesan kehidupan ini ditunjukkan dengan wahyu pertama yang diturunkan pada Beliau: Membacalah!(QS.96:1). Juga disebutkan bahwa Allah meninggikan orang yang beriman dan berpengetahuan beberapa derajat (QS.58:11). Sampai pula dikatakan bahwa orang yang (bisa) takut pada Allah hanyalah orang yang berilmu (innamaa yakhsyallaahu min ‘ibaadihil ‘ulamaa’). Dan tidak dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang menggunakan akal.(QS. 2: 269). Dan banyak lagi ayat-ayat yang menantang kita untuk menembus langit dan bumi.

Jadi sungguh mulia orang-orang yang mau menuntut ilmu. Karena itu artinya ia mengarahkan hidupnya pada ketinggian derajat di sisi Tuhannya. Betapa mulia pula para guru, pemimpin dan siapapun yang mempermudah (memfasilitasi) orang lain untuk mendapatkan ilmu. Itu artinya mereka mempermudah jalan kebahagiaan sesama. Sehingga bila tiap-tiap pribadi dan seluruh masyarakat cukup bekal iptek dan imtaq, akan tercapailah tujuan menciptakan masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Maka tak lupa kita bersyukur dan mengapresiasi penetapan dan realisasi anggaran 20% dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) untuk bidang pendidikan. Ini adalah kebijakan nyata untuk meningkatkan kualitas kehidupan bangsa Indonesia. Sejatinya kita juga sudah lama paham tentang kebutuhan sumber daya manusia (SDM) yang handal. Tanpa ini, kekayaan sumber daya alam (SDA) yang berlimpah pun tak ada artinya.

Barangkali kita agak telat menseriusi persoalan mendasar ini. Dan jujur saja, terlalu banyak energi, waktu, dan sumber daya kita yang terbuang untuk hal-hal yang kurang menghasilkan manfaat bahkan merugikan (kontra-produktif). Sebagai pribadi dan sebagai bangsa kita tak boleh dilecehkan orang. Tapi kita tak perlu gila hormat atau suruh-suruh orang lain menghargai kita, apalagi bila memang rendah kualitas kita.. Justru kitalah yang harus benahi diri (bangsa) kita sendiri. Dan kita pun yakin, untuk berubah ke arah yang lebih baik, lewat pendidikanlah jalurnya. Maka demi Tuhan, mari berjihad (bersungguh-sungguh) menempuh jalan ini! Lillaahi ta’ala.
Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wa barakatuh.

bs 1971-2034
Email: b.sugiharto@ymail.com

Tidak ada komentar:

Gus Miftah dan Gaya Bicara untuk Orang Pinggiran

Nik durung entek es tehmu, yo konoo terusno dodol,....goblok .. (Kalau es tehmu belum habis, ya sana teruskan jual  ..goblok ...) ...ha ha h...