Selasa, 12 Mei 2009

Sekolah Mana, Guru Siapa

z Opini 1

Sekolah Mana, Guru Siapa yang Anda Cari, Orang Tua?

Tiap-tiap sekolah jelas tidak sama satu dengan lainnya. Ada yang katanya unggulan, ada yang bersifat sosial karena murah, dan ada juga yang biasa saja. Penilaian ini bersifat relatif karena tinjauannya bisa dari beragam sudut pandang. Mulai fasilitas belajar, kedisiplinan siswa, prestasi yang diraih, kualitas lulusan, sampai siapa guru-guru dan kepala sekolahnya serta berapa besarnya uang bulanan,.

Visi dan misi setiap sekolah juga tak sama. Masing-masing punya sesuatu yang ditonjolkan, atau keunggulan dan karakteristik yang berbeda-beda. Sehingga membandingkan satu sekolah dengan lainnya sebetulnya tidak mudah. Yang penting semua lembaga itu berkomitmen untuk maju sesuai tujuan dan realitas yang dimiliki.

Memang lembaga pendidikan tertentu tak jarang jadi dambaan orang. Di tingkat perguruan tinggi sebut saja Harvard University di USA dan juga Universitas Al Azhar di Mesir begitu termasyhur. Beberapa perguruan tinggi Indonesia baik negeri maupun swasta lainnya juga begitu diandalkan. Sebut saja UI, UGM, ITS, UM, UNESA dll.

Untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah juga dikenal beberapa sekolah dan pondok pesantren unggulan. Pondok Pesantren Modern Gontor, misalnya, diakui sangat bagus proses pendidikannya. Para orang tua senang dan bangga karena anak mereka mendapat layanan pendidikan yang diharapkan. Setelah lulus mereka umumnya mudah melanjutkan ke jenjang berikutnya.

Sayangnya terlalu sedikit jumlah sekolah atau pondok pesantren yang mampu mengelola pendidikan seperti itu. Tak heran, lembaga survey dan penelitian internasional menilai pendidikan Indonesia tak seberapa. Ranking berada di papan bawah, jauh tertinggal dari negeri jiran Malaysia, juga tetangga ASEAN lainnya. Ironisnya, kita terkesan tak berdaya untuk keluar dari keterpurukan, dan tak tahu dari mana mengurai benang kusut permasalahan yang ada.

Kurangnya kesejahteraan guru, etos kerja rendah, ditambah kurangnya kejujuran dan keikhlasan dari banyak pihak (ESQ rendah), tak bisa dibantah. Manipulasi data, korupsi bantuan pendidikan, sistem manajemen yang lemah dan tidak transparan ikut memperparah lembaga sekolah. Juga pelanggaran etika intelektual tak sulit dijumpai di dunia ilmiah kita.

Bagaimana mungkin pendidikan di Indonesia bisa menghasilkan generasi yang unggul imtaq dan iptek, bila masalah yang mendasar itu terus mencengkeram bahkan seakan membudaya? Jangan salahkan bila pendidikan kita dianggap tidak mencerahkan, serta sistem dan kurikulum yang gonta-ganti itu jadi bahan selorohan.

Orang tua yang secara ekonomi cukup mapan dan berpandangan ke depan, tak asal pilih sekolah. Mereka berusaha mencari lembaga terpercaya yang akan membentuk karakter pribadi darah-dagingnya. Mereka menyadari bahwa anak yang baik (shalih/shalihah) adalah aset dan investasi yang tak terbandingkan. Hingga biaya yang mahal dan jarak yang jauh sementara tak terlalu diperhitungkan.

Namun, cukupkah pendidikan anak dengan mengirim ke sekolah? Apakah orang tua bisa lepas tangan dengan mendelegasikan tugas pengasuhan pada sekolah? Bagaimana bila kelak si anak berhasil lulus dengan baik tapi tak hormat pada mereka? Bagaimana bila si anak pintar suka menginjak-injak nilai-nilai agama, satu-satunya yang menjamin ketenangan dan kebahagiaan di dunia?

Fenomena sekarang, banyak dijumpai kejahatan yang justru dilakukan orang-orang berpendidikan (white-collar crime). Mulai korupsi, kolusi, manipulasi, hingga penghilangan hak hidup sesama insan. Saat ini tak sulit mencari orang berpendidikan tinggi yang meringkuk di bui. Banyak mantan dan anggota dewan terhormat, menteri, kepala daerah, gubernur bank, petinggi tentara maupun polisi serta pejabat lainnya kini berstatus napi.

Sekolah atau rumah yang salah?

Pendidikan di sekolah, dengan 2 jam pelajaran agama seminggu, rasanya tak cukup membentuk pribadi mulia (akhlaqul karimah). Para guru semuanya tak mampu membentuk mindset (pola pikir) anak agar genah (semestinya). Sekolah sekedar memberi ketrampilan dan kecerdasan intelektual. Sedangkan aspek keimanan dan ketaqwaan hanya jargon belaka.

Sedang di rumah orang tua lupa perannya untuk jadi guru dan teladan utama bagi anak-anaknya. Norma-norma di rumah tak punya rujukan. Apalagi bila tak ada ibadah, jelas kehidupan mereka tak terarah. Kehidupan keluarga seperti itu gersang, tak ada ketenangan, jauh dari hidayah Tuhan. Generasi macam mana yang lahir dari didikan seperti itu?

Setiap yang dilahirkan berada dalam kesucian. Orang tualah yang menjadikan anak itu Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Begitu statemen Nabi Muhammad SAW, yang menekankan bahwa sekolah pertama dan utama adalah keluarga.
Kita tidak lupa dengan ungkapan kacang ora ninggal lanjaran, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Itu artinya anak adalah cerminan dari orang tua atau keluarga yang mengasuhnya. Meski guru dan sekolah pada hakikatnya juga orang tua dan keluarga, namun pembiasaan nilai yang efektif dan lebih lama adalah oleh orang tua di rumah.
Bilamana diandaikan orang yang diasuh keluarga harimau akan meniru induk semangnya itu, bias jadi koruptor negeri ini sempat diasuh keluarga tikus.
(Bambang S)

Opini 2

Ilmu Laksana Pedang Di Tangan
(Untuk Pendekar Ngademin Demen Degan)

Dengan kecerdasan, akal bisa memilah dan memilih sesuatu, serta mampu menghubungkan satu hal dengan hal lainnya. Dengan itu pula bisa bersikap setuju atau tak setuju, mengiyakan atau berkata tidak. Tapi, tanpa wawasan serta data yang relevan, akurat dan valid (shahih), orang cenderung bersikap ngawur dalam mengambil keputusan. Orang cenderung ikut-ikutan, atau menuruti perasaan saja.

Dengan kepandaian yang dimiliki, orang bisa mengupas persoalan sehingga mudah dicerna dan dipahami. Inti dari sebuah permasalahan akan terlihat, setelah dikupas oleh ahlinya. Lebih gamblang lagi bila analisanya disampaikan dengan bahasa yang lugas, sederhana, dan komunikatif. Tentu untuk bisa seperti ini harus melalui tempaan dan asahan.

Sebuah masalah yang besar ibarat batu karang yang menghalang, bisa diatasi dengan pikiran yang jujur-jernih disertai kesabaran, ketabahan. Bila perlu dengan ketegasan yang yang ditunjang sikap berani memihak kebenaran. Dan dengan petunjuk Tuhan kebuntuan dapat terkuakkan, dan terbuka jalan perjuangan menuju cita-cita akhir kehidupan.

Walaupun begitu, tak semua orang selalu tercerahkan oleh cahaya pengetahuannya. Tidak sedikit orang berpendidikan yang gagal mengenal dan mengendalikan dirinya. Hingga ketika menghadapi kebuntuan mereka menabrak batas-batas kepatutan, atau ketika di persimpangan mereka membelok ke lembah kerendahan. Mereka tak malu pada manusia paling utama Nabi Muhammad SAW yang mengatakan bahwa jihad yang paling akbar ialah melawan hawa nafsu sendiri.

The man behind the gun, begitu sebuah pepatah. Berguna dan berbahayanya senjata tergantung siapa tuannya. Juga manfaat dan tidak bermanfaatnya pengetahuan tergantung siapa orangnya. Ada orang pintar tapi pekerjaannya tak lebih dari merekayasa persoalan alias suka menipu (manipulasi). Niat kerjanya tak lebih demi urusan perut dan di bawah perut sendiri, serta lupa hala-haram. The end justifies the means. Tujuan menghalalkan segala cara.

Memang, peradaban baru bisa maju bila digerakkan oleh pribadi yang cerdas, berwawasan dan kreatif. Namun tanpa ketaqwaan dan akhlaq mulia dari para pemimpin dan cendekiawan, dunia akan semakin berbahaya dan menakutkan. Lebih berbahaya dari pada dihadang oleh preman bodoh yang mudah dirayu dengan kata-kata, atau yang gampang dirobohkan dengan satu-dua jurus saja.

Lihat saja peperangan yang menggunakan senjata canggih. Daya hancurnya jauh lebih dahsyat dan mengerikan dari pertarungan para pendekar digdaya. Pencurian (korupsi) oleh orang-orang pintar, sering jauh merugikan dari pada dijarah oleh perampok preman yang bersenjata parang. Meski tak ada yang mau pilih satu di antaranya.

Ilmu tak selalu mencerahkan dan memudahkan jalannya kehidupan (al ‘ilmu nuurun). Ia laksana pedang bermata dua yang sangat berguna bila di tangan pembela kebenaran , tapi amat merugikan bila di tangan (primus = pria muka) setan. Ia pun bagaikan api yang amat kita perlukan, namun juga bisa membakar. Meski begitu, jelas bodoh orang yang tak berilmu. Apalagi orang yang tak mau mencari ilmu. Betah amat dalam ketidaktahuan!

Dua ayat Al Qur’an antara lain menyebutkan bahwa tidaklah sama yang berilmu dan yang tidak berilmu. Dan Tuhan meninggikan derajat orang beriman yang berpengetahuan.

(Apakah kamu, hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakalah yang dapat menerima pelajaran. (QS 39 Az Zumar: 9).

Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. 58 Al Mujaadalah: 11) (BS)

Tidak ada komentar:

Gus Miftah dan Gaya Bicara untuk Orang Pinggiran

Nik durung entek es tehmu, yo konoo terusno dodol,....goblok .. (Kalau es tehmu belum habis, ya sana teruskan jual  ..goblok ...) ...ha ha h...