_________________________
Banyak kegiatan atau hal menarik selama seminggu. Di akhir pekan ini, saya mengingat momen beberapa hari lalu. Setelah 'Isya, badan terasa payah, mata mengantuk mungkin karena tidak tidur siang, entah ada kegiatan apa sebelumnya. Kemudian secangkir kopi panas, sepperti biasa tiap malam, sudah habis sebelum pukul 8. Selalu fresh lagi sesudahnya, kemudian duduk lesehan, HP di sebelah kiri laptop di pangkuan. Berkumpul dengan keluarga, sesekali chatting di WAG, sambil memasukkan ke folder kiriman naskah yang masuk untuk penerbitan majalah sekolah. Kegiatan rutin tiap semester ini sekarang bersiap edisi 32 tahun ke-16. Bergiat demikian kadang ditemani lagu-lagu dari You Tube. Rupanya hak badan untuk istirahat tak dapat diabaikan. Tak sadar, ketahuan mengantuk juga. Ibunya anak-anak yang mengerjakan administrasi sekolah menyuruh yang si adik untuk menata tempat tidur agar Bapaknya ini rebahan. Mbaknya seperti biasa mengerjakan tugas kuliah, kadang-kadang paling akhir tidurnya.
Menyerah, akhirnya bangkit ambil minum dulu sebelum tidur sore-sore yang terpaksa ini, memang kurang biasa. Iseng mau tutup aplikasi di HP, ternyata sensei pembina IRo Society yang Ketua Dewan Profesor ITS, Prof. Imam Robandi, memposting link acara live di You Tube. Pagelaran Kiai Kanjeng Online dalam rangka Dies Natalis ITS ke-61. Melihat itu, saya lantas membatalkan tidur sore bahkan melek hingga di atas pukul 12 malam lebih setelah acara itu selesai. Prof. Imam memang biasa sekali mengabarkan kegiatan di ITS yang dapat diikuti umum. Bahkan pernah juga ada acara diskusi Asosiasi Profesor Indonesia disilahkan juga untuk diikuti para santrinya. Memang keren.
Sebenarnya di komunitas pembelajar ini ada beberapa guru besar, banyak doctor, tetapi yang terbanyak adalah lulusan S2. S1, dokter, apoteker, dalang, aktivis, serta guru TK sampai dosen yang berendah hati, berkumpul belajar bersama. Bila meliht rentang usia, mereka berusia 30-an sampai yang di atas 70, ma sya Allah.
Saya pun sering mengikuti DP ITS Berbincang pada Rabu malam dan menikmati bagaimana para guru besar guyon, bertukar pikiran, berbagi ilmu, yang dapat disaksikan umum. Siapapun boleh bertanya, agar dapat menyerap apa saja semampunya. Sepertinya pkini banyak guru besar yang tidak ingin menjadi Menara gading yang susah diakses. Tidak jamannya lagi, barangkali. Hikmah pandemi satu tahun setengah ini saya melihat bagaimana banyak intelekstul yang komunikatif dengan kita yang awam. Sementara Porf. Imam Robandi sudah bertahun-tahun rajin menyapa, mendatangi, membina para pembelajar. Tercatat ada sekitar 70 WAG yang dibuat dalam kegiaan ini. Lulusan Tottori University Japan ini melakukan enlightening and empowering, pencerahan dan pemberdayaan, terhadap para santrinya.
Dalam rangka HUT ITS, ebelumnya ada pegelaran wayang dengan dalang Ki Sigid Ariyanto dari Rembang, yang seorang santri IRo juga. Kini ITS menghadirkan Pagelaran Kiai Kanjeng. Nama kelompok musik ini otomatis merujuk kepada Cak Nun yang memadukan unsur musik gamelan dengan beberapa alat musik modern. Kiai Kanjeng menyajikan hiburan dan mendukung peran sang budayawan, penyair, penulis, atau apa saja statusnya, yang berpuluh tahun giat mengadvokasi masyarakat menemukan jati diri, sejak sebelum reformasi hingga kini. Ia berkomunikasi dan berdiskusi dengan kalangan dari berbagai latar belakang yang dihadiri ratusan, ribuan atau bahkan puluhan ribu jamaah maiyah di puluhan simpul pertemuan di berbagai kota di Indonesia. Sebut saja nama-nama even bulanannya seperti Mocopat Syafaat di Yogjakarta, Pengajian Padhang Bulan di Jombang, Bang-bang Wetan di Surabaya, Gambang Syafaat di Semarang, Kenduri Cinta di Jakarta serta di berbagai tempat lainnya.
Saya mengenal nama tokoh ini sejak di kampus ketika karyanya kumpulan syair atau puisi Lautan Jilbab banyak diteatrikalisasikan pada tahun 1990-an yang mampu menghadirkan ribuan penonton khususnya anak muda. Tidak mau ketinggalan, FPBS Moslem Student atau Sie Kerokhanian Senat Mahasiswa FPBS IKIP Malang turut menghadirkannya. Kebetulan, barangkali, saat itu kakak Cak Nun Pak A. Fuad Efendi sedang menjabat sebagai Pembantu Dekan 1 Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni. Sebagai mahasiswa baru semester dua, kala itu, saya ikut membantu kepanitiaan.
Penampilan Emha yang disodori tema oleh panitia seputar peradaban barat dan timur amat memukau. Islam itu tidak timur dan tidak barat. Laa syarqiyyah walaagharbiyyah, saya masih mengat ucapannya itu. Ia sempat membaca 'ayat favorit'-nya yakni QS. An Nur: 35, ayat cahaya di atas cahaya. Pembacaan terjemahan ayat oleh penyair dan pemain teater amat memikat, membuat orang menjadi memperhatikan atau hapal firman Ilahi tersebut. Boleh dikata Cak Nun mempopulerkan AnNur: 35. Setelah itu saya banyak mengikuti tulisan-tulisannya di koran dan majalah, membaca buku-bukunya sampai mengikuti pemberitaan tentang aktivitas dan kehidupannya. Kiprah Emha Ainun Nadjib tercatat multi dimensi, dari kesenian, kebudayaan, sosial, keagamaan hingga politik.
Membaca sepintas riwayatnya, tokoh kelahiran Jombang ini pada masa remajanya menempuh pendidikan di SMA Muhammadiyah 1 Yogjakarta tahun 1971, pernah mengenyam pendidikan di Pondok Modern Gontor serta kuliah sebentar, tidak samapai lulus, di UGM. Setelah tidah berkuliah, ia banyak beraktifitas sebagai penulis dan seniman, dan di antaranya menjadi santri Presiden Penyair Malioboro, saat itu, Umbu Landu Paranggi. Cak Nun yang menetap di Yogjakarta ini juga pernah mengikuti International Writing Program di Iowa University, juga pertemuan penyair dunia serta mengaku sempat mengembara beberapa tahun di Eropah.
Emha Ainu Najib adalah ibarat mentari pagi, begitu kata motivator Ary Ginanjar Agustian. Suami artis penyanyi terkenal tahun 1990-an Novia Kolopaking ini bersama Kiai Kanjeng telah melanglang buana tidak saja di berbagai pelosok tanah air tetapi telah menjelajah di berbagai negara di dunia. Penulis dari hampir 100 buku dan ayah dari Noe vokalis Band Letto atau Sabrang Mawa Damar Panuluh ini telah memerankan diri dalam hidupnya menjadi tokoh pencerahan dan perekat pluralitas bangsa. Bahkan ia berkomunikasi dengan pusat-pusat peradaban dunia. Emha adalah asset bangsa yang menjadi rujukan penting dalam mencari solusi dalam banyak kasus sosial kemasyarakatan. Cak Nun atau Mbah Nun adalah pejuang peradaban.
Memayu bagya HUT ITS dari Rumah Kadipiro Yogja diawali penampilan, selama 16 menit sajian Tari Bedoyo Keraton oleh beberapa penari putri. Sepertinya ini agak tidak biasa, mungkin karena untuk momen ulang tahun. Banyak yang sempat tidak sabar, bertanya-tanya dan protes kenapa didahului dengan tarian yang kurang menutup aurat. Setelah diikuti dengan shalawatan karena bertepatan dengan bulan kelahiran Rasuulullah Muhammad shalallaahu ‘alaihi wasalla, Cak Nun dapat menetralisir. Entah sengaja atau tidak sajian tadi ditampilkan, ternyata tradisi yng masih dipraktekkan di Keraton Yogja itu akhirnya dapat menjadi bahan tadabbur peserta maiyahan tersebut.
Yang di atas adalah hanya pembuka. Maiyahan berjam-jam yang sengaja dibatasi cukup sampai jam 12 saja itu mengalir dalam dialog peradaban yang mendalam. Tema HUT ke-61, ITS advancing humanity. Dikupas oleh budayawan yang menolak tampil di media mainstream televisi nasional tetapi bersedia di tivi local ini. Cak Nun menyatakan bahwa seharusnya setiap perguruan tinggi berusaha seperti ITS menjadikan institusinya bermanfaat untuk kehiupan dan mengembangkan aspek kemanusiaan.Cak Nun ditemani sang putra. Sabrang cukup membanggakan. Putra dari istri beliau terdahulu yang disekolahkan ke Kanada ini cukup menukik pemikiran filsafatnya. Penyanyi lagu Sebelum Cahaya ini Mereka mampu duet dialog dengan sang ayah, saling skak, guyon, saling melengkapi dalam perbincangan topik tingkat tinggi. Tentu saja si bapak yang berusaha memoderasi pemikiran cepat dari putranya, anak muda millenial.
Diselingi tembang, baik baru atau shalawat, diiringi Kiai Kanjeng, Cak Nun bisa membuat betah ribuan orang mengikuti diskusi, berpikir dan merasa, berkaca, mentertawakan diri, melihat kehidupan dengan hati yang jernih agar setiap orang menjadi diri yang berdaulat dalam situasi apa pun. Menutup ini agar tak terlalu panjang, siapa yang tak mengenal Cak Nun rasanya kurang lengkap khasanah pengalaman berpikirnya. Cak nun adalah aset nasional dan pelaku perubahan dan pertumbuhan kebudayaan, bila tidak disebut peradaban, selama beberapa puluh tahun terakhir ini.
________________
Lamongan, Sabtu 16 Rabbiul Awal 1443 H. / October 23rd, 2021