Senin, 27 November 2023

Language is Arbitrary, Bahasa Bersifat Semaunya ataupun Kesepakatan

 Ada ungkapan yang saya dengar dan setelah membaca tulisan Prof. Imam saya terpantik browsing lagi. Language is arbitrary. Bahasa bersifat semaunya, atau dikatakan suatu kesepakatan. Arti atau makna tak selalu sesuai dengan bentuk. Misalnya, dalam bahasa Indonesia,  tak semua hewan dinamakan sesuai bunyinya, seperti halnya tokek, cicak. Begitu pula terjemahan dalam bahasa lainnya.

 Keteraturan dalam pembentukan kata pun tak selalu berlaku mutlak. Yang ditampilkan Prof. Imam menjadi contoh. Pembelajar bahasa atau peminat bahasa barangkali boleh saja mendiskusikan atau mempermasalahkan tetapi tak selalu harus untuk merigubah apa yang telah digunakan secara luas. Ada catatan Bahasa Inggris yang 'teratur' atau mengikuti aturan grammar adalah 80 %, sisanya adalah perkeculian, atau begitulah adanya yang dipraktikkan oleh  pengguna bahasa. Barangkali itu yang dikatakan para sinden, kata Prof. Imam di atas, berbahasa itu harus gandhes luwes sak solahe  kenes-kenes wicarane. 

Entah mungkin karena tak selalu teratur, para pembelajar bahasa asing tak selalu mudah menjadi pengguna bahasa sebagaimana native speakernya. Ungkapan Prof. Imam yang terakhir, apapun makna akan hilang oleh rasa, menjadi bahan perenungan apa itu maksudnya. Prof. Imam memang guru besar teknik yang tertarik dan menguasai bahasa asing, tetapi ungkapan yang memakai kata 'rasa' lebih karena beliau berjiwa seniman.

Mantup, Sebin 27 November 2023



Tulisan Prof. Imam Robsndi yang menjadi rujukan tulisan saya di atas:


BAHASA, SELALU, DAN  MEMANG 


#ImamRobandi

Eagle flies alone 


___ 

Saya selalu sangat toleran pada penggunaan bahasa walaupun tidak tepat artinya. Apalagi makna  sebuah kata atau frasa yang sudah menjiwai maknanya, maka saya secara pribadi selalu 'menyelam, menyiduk, dan mengapung'. Maksud saya, agar saya juga ikut basah kuyup. 


Contoh saja, orang di Kebumen sering mengatakan, 'nggodog wedang'. Padahal yang digodog adalah bukan wedang. Menanak nasi, padahal yang ditanak adalah beras. Kebetulan, beras dan nasi adalah sama spelling  in English, yaitu rice. 


_Kemudian daripada itu_  ....

Alinea  keempat pembukaan  UUD RI 1945. Mungkin yang belajar Bahasa Indonesia hari ini akan bingung. Walaupun di situ tidak jelas  kata _daripada_  digunakan untuk membandingkan apa dengan apa, atau membandingkan yang mana dengan sebelah mana.  Nah, karena ini sudah sah dalam sejarah, maka ya harus sami'na wa atho'na. 


Kata warga negara jika disatukan dengan ke dan an, maka menjadi kewarganegaraan. Sedangkan kata dokter gigi, menjadi kedokteran gigi. Coba kalau mengikuti kaidah pemakaian  ke dan an, maka menjadi kedoktergigian. 


Kita mungkin sering menggunakan kata rumah sakit. Sakit apa rumah itu, dan lain sebagainya. Orang Indonesia selalu mengatakan kiblat adalah arah barat. Pada saat menjalankan sholat di Madinah pun mengatakan sedang menghadap ke arah barat. 


Di Tottori ada Gunung Daisen. Di Saitama  dan Yamanashi ada Gunung Fujisan. Padahal bacaan onyominya adalah san, bukan sen, tetapi tetap saja orang Jepang menyebut Daisen, bukan Daisan. 


Memang berbahasa adalah harus gandhes luwes sak solahe, kenes-kenes wicarane. Itu kata para ibu sinden Sukesi Rahayu dan Elisha Orcarus. Apapun makna akan hilang oleh rasa. 


___

Nov. 27, 2023 

Motomachi, Namba

Tidak ada komentar:

Gus Miftah dan Gaya Bicara untuk Orang Pinggiran

Nik durung entek es tehmu, yo konoo terusno dodol,....goblok .. (Kalau es tehmu belum habis, ya sana teruskan jual  ..goblok ...) ...ha ha h...