Rabu, 24 April 2024

Betulkah Sulit Memahami Anak-anak dan Para Siswa Jaman Sekarang?

Dulu asal bisa nyekel doran, nyekel arit wis pantes rabi. Dulu asalkan dapat mencangkul dan menyabit , maksudnya dapat bekerja di sawah seorang remaja sudah pantas untuk dikawinkan. Itu adalah bebasan atau ungkapan yang lazim didengar, khususnya,  di desa-desa pada tahun 70-an. Mungkin ada ungkapan tak sama tetapi tak terlalu beda pesan yang dimaksudkan. Demikianlah, bahwa seorang anak muda yang mulai beranjak dewasa, khususnya laki-laki, bila sudah mau bekerja dan dapat melakukan pekerjaan standar di sawah, mencangkul lahan dan menggunakan sabit, maka dianggap layak untuk dinikahkn.Tidak ada tuntutan-tuntutan yang barangkali dijumpai di jaman sekarang. Tentu saja dahulu dan sekarang di tiap daerah tetap beda budaya atau tradisi yang berlaku. Lain ladang lain belalang lain lubuk lain ikannya. 

 

Penulis hanya berasumsi bahwa secara umum tuntutan hidup jaman sekarang lebih tinggi dari jaman dahulu. Bila kalimat itu kurang tepat, minimal tuntutan jaman dulu dan sekarang berbeda, begitu saja. Setiap era tampaknya memiliki tantangan sendiri. Tak hanya anak-anak atau siswa, orang tua dan guru pun akhirnya memiliki penafsiran sendiri-sendiri apa yang mesti dilakukan untuk membekali anak-anak dan para siswanya. Membicarakan hal seperti ini adalah tidak untuk bersikap pesimis, atau realistis tapi bernada menyalahkan kondisi yang ada. Padahal kita harus yakin bahwa tak ada aral di depan kecuali kita dapat melewatinya, laayukallifullaahu nafsan illaa wus'aha. Kita tak diuji kecuali sesuai keadaan kita. Optimis, tak ada pilihan lain, demianlah seharusnya.

 

Beda umur, beda masa hidup,  antara orang tua dan guru di satu sisi dengan anak-anak dan siswa di sisi lainnya. Pasti wajar jika beda gaya berpikir, cara merasa hingga bagaimana berbahasa, bersikap dan  berperilaku. Isi kepala orang dewasa beda dengan anak-anak. Para orang tua harus paham keadaan ini. Orang muda pun harus mengerti bahwa orang tua dan guru pasti tulus dalam.mengharapkan kebaikan untuk mereka. Walau begitu, jangan ada keinginan dari orang tua bahwa antara dirinya dengan anak-anak harus sama . Yang muda pun tak boleh egois menuntut orang tua mengerti bila mereka tak pandai bersikap manis dan menunjukkan hormat dan sayangnya. Gap, jarak,  pemikiran tak akan menjadi masalah bila senua sedia saling mendoakan.

 

Para guru pada masa lalu terbiasa menghadapi siswa di kelas yang berjumlah 44 – 48 siswa. Bukan tak ada kesulitan. Namun kini jumlah rombogan belajar (rombel) hanya 32 siswa namun lantunan keluhan tampaknya ada di banyak tempat. Barangkali factor guru di era kini yang tak sebagus para guru di era dahulu. Ada pula dugaan bahwa karakter siswa kini adalah  karena pengaruh kemajuan teknologi komunikasi. Guru bukan lagi satu-satunya sumber ilmu pengetahuan. Dunia dan pengetahuan sudah ada di genggapan, yakni gawai atau HP. Maka para guru harus relistis dengan kondisi ini. Cukuplah kita menjadi teman, orang tua, pembimbing atau fasilitator untuk anak-anak. Wallaahu a;lam.

 

(Naskah untuk Majalah sekolah Inspiro edisi 37 tahun ke-19)

Tidak ada komentar:

Gus Miftah dan Gaya Bicara untuk Orang Pinggiran

Nik durung entek es tehmu, yo konoo terusno dodol,....goblok .. (Kalau es tehmu belum habis, ya sana teruskan jual  ..goblok ...) ...ha ha h...