Rabu, 31 Juli 2024

Ada Rasa Bebas, Saat Suatu Hajatan Telah Usai




______________ 

Salah satu nikmat yag patut kita syukuri adalah ketika kita telah keluar dari suatu kesibukan bahkan kerepotan yang menjerat. Betapa kita akan merasa plong, pikiran menjadi ringan, dada terasa lapang, dunia seakan kembali luas dan terang. Bunga-bunga dan tanaman seakan sumringah hidupnya. 

Kita barangkali sering merasakan bahwa datangnya kesibukan, kerepotan, ujian yang harus kita lewati itu adalah sebagiannya tak terduga. Sepertinya kita tak selalu sepenuhnya mengantisipasi. Namun mungkin saja apa yang kita lakukan setiap hari berupa kebaikan atau amal shalih, semampu kita itu, baik ibadah mahdhah atau pun amal mu'amalah umum lainnya, merupakan investasi bekal untuk dipakai sewaktu-waktu menghadapi kesulitan atau pun tameng dalam menghadapi kendala-kendala. Lebih kurang demiikian pemahaman yang kita terima.

Karena kebodohan dan hawa nafsu, kita pun  sering kali tak sadar sedang menantang keadaan yang dapat membuat kita berada seperti di tepian jurang. Ada resiko yang amat dekat dapat dilihat. Ke kiri atau ke kanan kita dapat terjerumus ke dalam jurang yang tak dangkal. Walaupun demkian, entah lewat wasilah atau jalan pertolongan dari arah dan orang yang tak terduga, akhirnya kita dapat selamat melewati. Setelah itu maka harusnya kita bersyukur dan lebih waspada melangkah. 

Selama hayat di kandung badan, ujian berikutnya akan selalu datang. Hidup adalah ujian. Kehidupan di dunia adalah ladang amal untuk bekal menuju kehidupan abadi di akhirat. Alladziy khalaqal mawta wal hayaata liyabluwakum ayyukum ahsanu 'amalan. Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk melihat siapa yang terbaik amalannya. ( Lihat QS. Al Mulk ayat 2).

Orang-orang beriman tidak disibukkan dengan perlombaan bermegah-megahan, berhebat-hebatan di dunia melainkan mengukuti petlombaan yang untuk kebaikan. Fastabiqul khairar.

________

Lanongan, 31 Juli 2024

Sabtu, 27 Juli 2024

Kenapa Ketika Di Mekah Sampai Diinfus?


 _______

Penulis bertemu untuk kali kedua dengan  sesama alumni jamaah haji 2024 di masjid setelah jumatan. Dia yang ikut KBIH lain itu bersyukur melihat penulis yang tak lagi tampak pucat sebagaimana Jumat sebelumnya, yang saat itu baru beberapa hari tiba di tanah air. Penulis pun mengaku berusaha sehat, makan banyak ...he he , menjaga agar jangan ada fitnah setelah haji koq malah sakit. Cak Haji Syam tersebut setuju dan mendukung. Dia yang bukan orang kantoran seperti penulis, sebagaimana orang lapangan umumnya, beruntung memiliki stamina yang lebih kuat. Tidak ada cerita dia sempat sakit saat di Tanah Suci. Malah dia yang menjadi ketua regu (kebetulan sebagaimana juga penulis) sempat mengurusi anak buah yang sakit hingga dibawa ke RS Arab Saudi. Beda dengan penulis yang pernah diinfus sehari sebelum berangkat ke puncak haji di Armuzna, Arafah Muzdalifah dan Mina.

Kejadian diinfus itu tak terhindarkan diceritakan penulis pada kerabat dan teman yang berkunjung ke rumah. Ketika penulis sudah masuk kerja, ada yang masih ingin klarifikasi mengapa sampai sakit dan dicair begitu? Penulis bilang bahwa sebetulnya tidak serius amat kondisinya. Penulis hanya merasa tidak enak makan setelah jamaah shalat Maghrib, serta memang agak demam. Nah, kebetulan saat ituada dokter ke kamar penulis untuk mem-visit rutin jamaah sepuh yang sekamar, lalu penulis minta obat adem panas. Permintaan itu direspon dengan mengecek suhu badan penulis. Dilihat suhu pada angka 38, Bu Dokter itu langsung bilang bahwa ini harus diinfus, dicair. Penulis kaget, kesannya parah banget, meski memang lemes dan tidak enak. Pikir penulis, bila sampai diinfus, nanti apa kata dunia? 

Hayoo ... besok ikut berangkat atau tidaak? Begitu peringatan Bu Dokter, seperti pada anak kecil  he he..,  saat penulis mencoba minta  obat saja. Tidak dapat menolak, penulis akhirnya pasrah dan sudah  diinfus oleh  perawat sebelum isya'. Alhamdulillah tengah malam, suhh badan sudah dingin, turun panasnya. Betul juga tindakan preventif dan kuratif Bu Dokter. Panas segera reda dan terasa ada energi lagi. Esok malamnya, penulis sudah dapat mengikuti perjalanan ke kemah di Mina untuk ibadah tarwiyah, 8 Dzulhijjah, dan sudah memakai ihram sejak meninggalkan kamar hotel. 

Hmm... andaikan hanya minum obat saja, mungkin panas badan penulis belum teratasi,  apalagi bila tidak ada asupan yang masuk lewat jarum dan selang infus.  Obat dan makanan lewat infus telah mengembalikan ke kondisi kesehatan yang baik. Alhamdulillah dan terima kasih pada tim kesehatan.

Selain cerita dari sisi medis, penulis menduga itu mungkin juga terkait obrolan penulis dengan istri. Maksudnya untuk memotivasi agar ibunya anak-anak lahap makan, penulis mengatakan bahwa makanan yang didapat dari catering selama ini selalu habis. Penulis memotivasi agar jangan menyia-nyiakan makanan yang diberikan, maka harus dirasakan enak semua. Barangkali karena agak berlebihan, penulis dibuat untuk merasakan bagaimana bila lidah sedang tidak dapat merasakan enaknya makanan. Wallaahu a'lam. 

Rangkaian ibadah haji 40 hari di Tanah Suci tak dapat dilewatkan dan dilupakan begitu saja,  meski sudah satu bulan berlalu dan telah beraktivitas kerja sebagaimana semula. Banyak hal yang perlu untuk terus dicerna, dipahami dan ditanyakan kepada  ahliddzikri agar mendapatkan hikmah dan in sya Allah ini bagian dari ikhtiyar mencapai dan menjaga kemabruran. Allahummaj'alnaa hajjan mabruuran wassa'iyyan masykuuran waddzanban maghfuuran watijaaratan lantabuura. Allaahumma yassirna ziyaratal baytikal haram liiddaail hajja wal umrata. Aamiin.

_______ 

Lamongan, 27 Juli 2024




Selasa, 16 Juli 2024

Di mana Keistimewaan Para Tamu Allah?


Bu, sampeyan iki tak delok arang ketok ngaji, yo ora alim, tapi koq budal haji? Seorang teman akrab tanya santai pada sohibnya. Yang ditanya tertawa saja dan diceritakan pada suaminya. Yaa ... lumayan masih mau pergi haji. Dari pada sudah gak alim tapi gak haji. Demikian jawaban yang diajarkan suaminya. Wis aku mene tak nggawa Al Qur'an sing gampang dipelajari. Aku tak belajar ngaji nduk Mekah mene. Kata si istri.

Kula niki pun nate ngelakoni sembarang,  macem-macem....., kata seorang kakek tua yang berjalannya sempoyongan,  tapi terlihat masih tersisa kegagahannya. Pun, Mbah, pun ..mboten usah diterusno..., sela jamaah lainnya. Nik wonten sing awon mboten usah diceritakno....... istighfr mawon, supaya Gusti Allah gampang ngapura. demikian tambahan saran dari Pak Modin, jamaah yang sekamar dengannya. Si Mbah menurut. Dalam keseharian si mbah banyak melihat saja apa yang dilakukan para  jamaah lainnya. Ia tampaknya belum belajar mengaji, bahkan gerakan shalatnya pun kagok. Namun entah apa yang mendorongnya 12 tahun lalu ia mendaftar haji.

Kata Pak Kyai, ada politisi atau pejabat yang naik haji karena ingin terlihat keislamannya. Itu jangan dicela, itu baik saja. Kebaikan itu kadang dimulai dari terpaksa atau paksaan. Bisa jadi dengan itu akhirnya ia menyesuaikan diri. Itu khan lebih baik dari pada mereka yang tak mau berhaji padahal secara materi cukup berada atau mudah saja membiayai perjalanan dan sebagainya.  Bersyukurlah kita karena Allah beri kesempatan kita memperbaiki diri, bertaubat.

Berkali-kali para calon jamaah haji atau yang telah menjadi jamaah haji dihibur dan diharapkan mereka bersyukur atas nikmat Allah bahwa kita menjadi tamu-Nya. Tak semua yang kaya, sehat, berilmu, berkesempatan, mendapatkan panggilan untuk menunaikan ibadah haji. Faktanya, di antara yang berangkat haji tak hanya yang memang kaya namun ada yang pas-pasan, ada yang muda dan sehat namun ada pula yang tengah sakit atau tua. Ada yang dikenal alim memiliki ilmu pengetahuan agama, atau pintar ilmu umum lainnya namun tak berangkat, sementara ada yang sedikit-sedikit bertanya tetapi berangkat. Bahkan ada pula yang tinggal dekat Tanah Suci tetapi belum menunaikan ibadah haji. 

Selain para orang dewasa hingga lansia, ada pula anak - anak muda di antara jamaah. Dapat ditebak, mereka umumnya menggantikan ibu atau ayah mereka yang meninggal. Tentu terlihat tak terduga, masih muda mereka sudah menunaikan haji. Memang ada juga yang sejak kecil sengaja sudah didaftarkan oleh orang tua mereka dan mendapatkan porsi. Memperhatikan bhineka-nya para jamaah tak hanya menarik dari sisi usia tetapi sejatinya menarik mengenal siapa mereka dalam hidup keseharian. Bukan untuk melihat status sosial, tetapi bagaimana mengenai sikap dan pengalaman apa yang mereka  telah kerjakan dalam hidup, sehingga Allah memanggil menjadi tamu-Nya. 

Tahun 2024 ini seakan tahun yang amat istimewa karena tahun ini kami berkesempatan menunakam ibadah haji. Betapa kami merasa istimewa sekali. Bukan melihat diri yang istimewa suci, hebat, lalu layak dipanggil ke Baytil Haram. Namun, betapa istimewanya panggilan ini karena justru kita tidak merasa suci, masih banyak dosa, kurang berilmu, kurang ibadah. Namun sungguh kita ingin baik, kepingin dadi wong apik, entah bsgaimana caranya, semoga Allah membimbing dengan hidayah-Nya. Keberangkatan kami tentu dengan ikhtiyar dan tawakkal, meninggalkan keluarga serta betbagai urusan atau pekerjaan, yang itu pun Allah yang memampukan.

Di tulisan yang dahulu pernah dikatakan bahwa perasaan jamaah haji adalah seperti perasaan pengantin. Penuh kecamuk di hati. Dag dig dug...penasaran saat sebelum ke pelaminan. Hari-hari jelang pernikahan penuh dengan berbagai dinamika hati. Lebih kurang demikian pula yang dirasa calon jamaah haji, paling tidak oleh penulis pribadi. Betapa rasa senang berlebihan dan dapat membuat hati riya'. Setelah semua selesai pun kita masih perlu menata dan menjaga hati, muhasabah siapa kita dan apa sebenarnya istimewanya kita. 

Rahmat Allah lebih besar dari kebaikan yang kita merasa melakukannya.  Kita hanya yakin bahwa para jamaah lainnya miliki keistimewaan sehingga terpanggil menjadi tamu Allah. Sayang, kita bodoh dan ego sehingga sedikit saja dari mereka ysng kita mengenalnya Semoga suatu saat ada kesempatan bertemu bersambung silaturrahim dan semoga semua mencapai titik akhir tujuan di jannah, surga-Nya Allah dan keridhaan-Nya. Aamiin.

_______

Mantup Lamongan, Selasa 16 Juli 2024




Kamis, 11 Juli 2024

Apa Kesan Setelah Menunaikan Ibadah Haji?




Saat ditanya tentang apa kesan setelah menunaikan haji? Penulis perlu berpikir mau jawab apa? Akhirnya sering penulis sampaikan bahwa rangkaian ibadah haji itu seperti penataran atau diklat yang dijalani pegawai atau karyawan. Di sana banyak pembelajaran dan setelah pulang selalu ada materi atau hal-hal yang perlu dicerna atau dipahami. Jadi hari-hari setelah kepulangan ini masih banyak angen-angen atau refleksi dari yang telah dijalani kemarin.

Yok opo, wis tenang tah mari haji? Sementara itu Pak Kaji Beliung menanya hal yang tak terduga, sudah tenangkah? Penulis pun memikir lagi bagaimana menjawabnya. Yang bersangkutan yang telah menunaikan haji belasan tahun lalu itu barangkali memang merasakan ketenangan sesudahnya waktu itu. Penulis lalu menjawab sama dengan yang sebelumnya, tapi berusaha mencoba elaborasi pada fokus yang ditanyakan.

Alhamdulillah tentu ada rasa tenang, senang dan bersyukur telah menunaikan rukun Islam kelima. Ada keinginan kesana lagi. Ada cita-cita anak-anak pun kelak dapat ke Baytullah.Namun ada kewajiban untuk selalu menjaga keimanan dan tentu berusaha terus berdoa agar haji yang dilakukan mabrur, sa'i yang dijalankan disyukuri, dosa pada diri diampuni serta perniagaan dan harta yang dimiliki tidak sia-sia.. Jadi itu adalah ibadah berkelanjutani yang perlu terus dirawat dan dijaga spiritnya. Pak Dien Syamsudin dulu pernah menyatakan bahwa haji bukan puncak ibadah. Logikanya, setelah di puncak apa lalu menurun? Tentu jawabannya adalah tidak. 

Jauh-jauh ke Tanah Suci, belasan tahun bersabar menunggu pemberangkatan, puluhan juta rupiah ditabung lalu dikeluarkan, demikian itu adalah fakta yang ada. Apa yang dibawa kesana? Apa pula yang dibawa pulang dari Baytullaah? Apakah sudah cukup untuk kita dengan beribadah dan mengikuti berbagai kegiatan sekitar 40 hari?  Bila jujur, itu pun berapa persen yang mampu diikuti? Bukankah kekuatan fisik dan kesehatan yang dikaruniakan Allah amat menentukan kemampuan kita? Tak kalah penting, bukankah bekal pengetahuan yang Allah anugerahkan juga mempengaruhi pilihan prioritas ibadah kita? Jamaah haji tercenung diajak muhasabah, introspeksi, seperti itu.

Kita pun patut terusik hati mendengar ungkapan seorang khatib bahwa mungkin saja yang tidak di Tanah Suci dengan berbagai pengorbanan yang dilakukan,  mereka justru  dapat bertemu Allah. Sementara yang dipanggil ke Baitullah justru ada yang tidak dapat mencapai tujuan berhaji, na'udzubillaahi min dzaalik. Di Tanah Suci ada Masjid Nabawi, ada rawdah, Masjidil Haram, multazam, ada wuquf di Arafah dan sebagainya, maka eman bila semua lolos tak termanfaatkan. Tentu saja bila tak semua, paling tidak  sebagian harus ada yang terjamah.
.

Sementara Pak Kyai menghibur agar kita yakin saja bahwa  in sya Allah ibadah kita sah, diterima.  Diingatkan pula bahwa agama itu tidak sulit. Wamaa ja'alnaa fiddiini min haraj. Bila kita lupa, tak sengaja, tak sadar melakukan hal tertentu, misalnya menutup kepala saat ihram ketika tertidur, maka itu tetlepas hukum. Asal kita berusaha menghindari rafatsa, fusuuqa waljidaala,  berlaku jorok, maksiat, bertengkar, berniat lillaahi ta'ala, banyak istighfar, in sya Allah  haji kita akan mabrur. Bukankah Allah Maha Mensyukuri apa yang dilakukan para hamba-Nya, para tamu-Nya?

Semoga dengan banyak istighfar, muhasabah kita termasuk yang berhaji mabrur yang tidak ada balasan kecuali surga Allah subhaanahu wata'ala. Kita berusaha menjadikan perkataan dan langkah-langkah kaki kita untuk bertaubat kepada Allah, kita makin mendekat kepada-Nya serta memperbaiki hubungan dengan sesama, hablun minannaas.

Yang in sya Allah menjadi indikator penting kemabruran kita adalah empat hal berikut.  Kita harus sedia memaafkan kesalahan orang yang dhalim kepada kita, kita sedia menyambung silaturrahim orang yang memutus hubungan, kita sedia tetap berbuat baik terhadap orang yang tidak baik kepada kita, kita sedia tetap dermawan kepada yang bakhil kepada kita, 

Allaahummaj'alnaa hajjan mabruuran wasa'iyyan masykuuran waddzanban maghfuuran watijaaratan lantabuura. Allaahummaj'al awlaadanaa min ahlil 'ilmi waahlil khair waminal mushalliin walmuzakkiin waminal 'ulamaaisshaalihiin. Subhaana rabbika raabil 'izzati 'ammaa yashifuun. Wasalaamun 'alal mursaliin walhamdulillaahi rabbil 'aalamiin. Aamiin.

______________ 

Mantup Lamongan, Kamis 11 Juli 2024



 


Selasa, 02 Juli 2024

Ibadah Haji Memang Berat, Menantang tapi Menarik & Membuat Ingin Kembali




_______

Saya merasa di sana itu senang-senang,  menikmati, tetapi sayang hanya bersama istri. Sementara anak-anak yang sehari-hari bersama  tidak ada di sisi kami, di rumah. Bercerita demikian sehabis jumatan, Cak Syam tak dapat menahan kucuran air matanya. Ia seakan membayangkan betapa lengkapnya kesenangan menjadi tamu Allah kemarin apabila lengkap bersama istri dan dua putramya.

Mendengar cerita tetangga yang kebetulan ikut KBIHU lain itu, penulis langsung teringat perasaan terhadap dua putri kami. Sejujurnya, meski masa tunggu sudah 12 tahun sejak pendaftaran, pernah ada perasaan tidak ingin buru-buru berangkat. Semacam kami tidak tega meninggalkan mereka. Namun, saat ada kepastian pemanggilan, kami berikhtiyar dan bertawakkal. 

Allah yang menciptakan langit tanpa retak Maha Mengatur semua hal. Kami dapat melewati hari-hari ketika berjarak, kami di Tanah Suci dan anak-anak melanjutkan aktivitas studi mereka. Di antaranya Allah mengirim teman yang setia dan terpercaya membantu sejak sebelum berangkat hingga setelah pulang dan yang utama saat kami tengah beribadah ke Baytullah. Tentu pula ada yang lainnya dari kerabat, tetangga dan banyak pihak yang bahkan kami tak menduga.

Kami merasa amat berat, di antaranya, saat si adik sakit sementara kami tak dapat menunggui di sampingnya. Alhamdulillah bulik atau tantenya dan seorang  bidan yang dekat dengan keluarga kami menjadi sarana Allah memberikan kesembuhan. Kami pun menjadi tenang. Allah yang Maha Penolong yang menjamin hidup dan mati kita. Waj'alliy minladunka sulthaanannasyiira.

Waktu di Mina itu lho ....  terasa tidak menyenangkan. Tinggal di tenda, berdesakan, harus antri di toilet...., cerita ibunya anak-anak pada tamu yang datang ke rumah kami. Penulis mengklarifikasi bahwa itu kesan pribadi. 

Maklum istri sejauh ini termasuk orang yang kurang suka kegiatan luar rumah. Sejak sekolah pun tidak senang yang namanya perkemahan Pramuka. Ia juga bukan dari keluarga petani, misalnya, yang tak asing dengan keadaan darurat. Beda dengan penulis yang pernah berkemah 16 hari pada Perkemahan  Wirakarya 1993 saat kuliah. Agak menyombong, penulis tidak begitu merasa repot dan berat. Kalau terbiasa tertib situasi seperti hidup di tenda ya memang berat, Bu Iis Bu Guru SMA yang sutradara teater,  tamu lainnya, ingin memaklumi dan mencoba mendudukkan persoalan.

Balasan yang dijanjikan khan  surga. Jadi berhaji memang berat, kata Pak Ustadz Iful, salah satu pemateri bimbingan manasik saat berkunjung ke tempat kami.  Ia yang betkali-kali menyertai jamaah ke Tanah Suci, baik haji atau umrah, tidak menolak kesan bahwa tidak mudah menjalani rangkaian ibadah haji. Namun tidak semua sisi tidak enak. Menunaikan rukun Islam kelima patut disyukuri dan secara manusiawi membanggakan. Setiap yang kesana umumnya ingin berkesempatan dapat kesana lagi.

Sementara ada teman yang tahun lalu menunaikan haji tetapi ia tidak punya pengalaman seperti kami. Ia mengikuti KBIHU dari daerah lain, kampung halaman istrinya. Kami tanggal 8 Dzulhijjah melakukan tarwiyah menginap di tenda Mina sehari semalam, 5 waktu shalat. Begitu juga saat dari wuquf di Arafah kami mabit di Muzdalifah hingga Subuh.  Penulis dapat tidur nyenyak waktu itu. Saat di Mina lagi,  kami pun mengambil nafar tsani, empat hari ke jamarat. Pengalaman kami yang selalu berusaha mengambil yang afdhal dianggapnya lebih menantang. 

Penulis yang baru pertama ke luar negeri, baru sekali menginjakkan kaki di kota kelahiran Rasuulullah Muhammad shalallaahu 'alayhi wasallam dan kota tempat hijrah beliau, merasa tak terkira kesan yang didapat. Kami yang berangkat di gelombang awal, setelah beberapa hari di Madinah Al Munawwarah, ada perasaan berat saat meninggalkannya untuk bergeser ke Makkah Al Mukarramah.

Sesudah beberapa pekan di kota kelahiran Nabi SAW ini pun kami merasa terlalu cepat untuk ke puncak haji di Armuzna, Arafah, Muzdalifah dan Mina. Hingga akhirnya kami pun kembali ke tanah air. Selama 40 hari di Tanah Suci terasa masih kurang biarpun tentu kami rindu keluarga. Kami berdoa semoga Allah menjadikan haji kami mabrur dan dosa kami terampuni.

Allaahummaj'alnaa hajjan mabruuran wasa'iyyan masykuuran waddzanban maghfuuran watijaaratan lantabuura. Aamiin.

Penulis membuat beberapa tulisan, membuat banyak video yang sudah di-share, namun tetap lebih banyak yang belum mampu diungkapkan. Melihat Madinah dan Makkah modern sekarang, penulis membayangkan seandainya Rasuulullah Muhammad shalallaahu 'alayhi wasallam masih ada di tengah kita. Aah...pikiran ini terlalu  ngelantur...

Segera menutup tulisan pendek ini, penulis melontarkan kesan yang barangkali buru-buru. Bahwa even berkumpulnya manusia yang berlangsung terus setiap tahun,  bahkan pula sepanjang tahun, tidak ada yang lebih besar dibandingkan berkumpulnya jamaah haji dan umrah di Baytil Haram di Makkah dan Madinah. Ma sya Allaah.

 Innasshafa walmarwata min sya'aairillaah. 

_____

Mantup Lamongan, Selasa 2 Juli 2024



Gus Miftah dan Gaya Bicara untuk Orang Pinggiran

Nik durung entek es tehmu, yo konoo terusno dodol,....goblok .. (Kalau es tehmu belum habis, ya sana teruskan jual  ..goblok ...) ...ha ha h...