Kula niki pun nate ngelakoni sembarang, macem-macem....., kata seorang kakek tua yang berjalannya sempoyongan, tapi terlihat masih tersisa kegagahannya. Pun, Mbah, pun ..mboten usah diterusno..., sela jamaah lainnya. Nik wonten sing awon mboten usah diceritakno....... istighfr mawon, supaya Gusti Allah gampang ngapura. demikian tambahan saran dari Pak Modin, jamaah yang sekamar dengannya. Si Mbah menurut. Dalam keseharian si mbah banyak melihat saja apa yang dilakukan para jamaah lainnya. Ia tampaknya belum belajar mengaji, bahkan gerakan shalatnya pun kagok. Namun entah apa yang mendorongnya 12 tahun lalu ia mendaftar haji.
Kata Pak Kyai, ada politisi atau pejabat yang naik haji karena ingin terlihat keislamannya. Itu jangan dicela, itu baik saja. Kebaikan itu kadang dimulai dari terpaksa atau paksaan. Bisa jadi dengan itu akhirnya ia menyesuaikan diri. Itu khan lebih baik dari pada mereka yang tak mau berhaji padahal secara materi cukup berada atau mudah saja membiayai perjalanan dan sebagainya. Bersyukurlah kita karena Allah beri kesempatan kita memperbaiki diri, bertaubat.
Berkali-kali para calon jamaah haji atau yang telah menjadi jamaah haji dihibur dan diharapkan mereka bersyukur atas nikmat Allah bahwa kita menjadi tamu-Nya. Tak semua yang kaya, sehat, berilmu, berkesempatan, mendapatkan panggilan untuk menunaikan ibadah haji. Faktanya, di antara yang berangkat haji tak hanya yang memang kaya namun ada yang pas-pasan, ada yang muda dan sehat namun ada pula yang tengah sakit atau tua. Ada yang dikenal alim memiliki ilmu pengetahuan agama, atau pintar ilmu umum lainnya namun tak berangkat, sementara ada yang sedikit-sedikit bertanya tetapi berangkat. Bahkan ada pula yang tinggal dekat Tanah Suci tetapi belum menunaikan ibadah haji.
Selain para orang dewasa hingga lansia, ada pula anak - anak muda di antara jamaah. Dapat ditebak, mereka umumnya menggantikan ibu atau ayah mereka yang meninggal. Tentu terlihat tak terduga, masih muda mereka sudah menunaikan haji. Memang ada juga yang sejak kecil sengaja sudah didaftarkan oleh orang tua mereka dan mendapatkan porsi. Memperhatikan bhineka-nya para jamaah tak hanya menarik dari sisi usia tetapi sejatinya menarik mengenal siapa mereka dalam hidup keseharian. Bukan untuk melihat status sosial, tetapi bagaimana mengenai sikap dan pengalaman apa yang mereka telah kerjakan dalam hidup, sehingga Allah memanggil menjadi tamu-Nya.
Tahun 2024 ini seakan tahun yang amat istimewa karena tahun ini kami berkesempatan menunakam ibadah haji. Betapa kami merasa istimewa sekali. Bukan melihat diri yang istimewa suci, hebat, lalu layak dipanggil ke Baytil Haram. Namun, betapa istimewanya panggilan ini karena justru kita tidak merasa suci, masih banyak dosa, kurang berilmu, kurang ibadah. Namun sungguh kita ingin baik, kepingin dadi wong apik, entah bsgaimana caranya, semoga Allah membimbing dengan hidayah-Nya. Keberangkatan kami tentu dengan ikhtiyar dan tawakkal, meninggalkan keluarga serta betbagai urusan atau pekerjaan, yang itu pun Allah yang memampukan.
Di tulisan yang dahulu pernah dikatakan bahwa perasaan jamaah haji adalah seperti perasaan pengantin. Penuh kecamuk di hati. Dag dig dug...penasaran saat sebelum ke pelaminan. Hari-hari jelang pernikahan penuh dengan berbagai dinamika hati. Lebih kurang demikian pula yang dirasa calon jamaah haji, paling tidak oleh penulis pribadi. Betapa rasa senang berlebihan dan dapat membuat hati riya'. Setelah semua selesai pun kita masih perlu menata dan menjaga hati, muhasabah siapa kita dan apa sebenarnya istimewanya kita.
Rahmat Allah lebih besar dari kebaikan yang kita merasa melakukannya. Kita hanya yakin bahwa para jamaah lainnya miliki keistimewaan sehingga terpanggil menjadi tamu Allah. Sayang, kita bodoh dan ego sehingga sedikit saja dari mereka ysng kita mengenalnya Semoga suatu saat ada kesempatan bertemu bersambung silaturrahim dan semoga semua mencapai titik akhir tujuan di jannah, surga-Nya Allah dan keridhaan-Nya. Aamiin.
_______
Mantup Lamongan, Selasa 16 Juli 2024
Tidak ada komentar:
Posting Komentar