_______
Saya merasa di sana itu senang-senang, menikmati, tetapi sayang hanya bersama istri. Sementara anak-anak yang sehari-hari bersama tidak ada di sisi kami, di rumah. Bercerita demikian sehabis jumatan, Cak Syam tak dapat menahan kucuran air matanya. Ia seakan membayangkan betapa lengkapnya kesenangan menjadi tamu Allah kemarin apabila lengkap bersama istri dan dua putramya.
Mendengar cerita tetangga yang kebetulan ikut KBIHU lain itu, penulis langsung teringat perasaan terhadap dua putri kami. Sejujurnya, meski masa tunggu sudah 12 tahun sejak pendaftaran, pernah ada perasaan tidak ingin buru-buru berangkat. Semacam kami tidak tega meninggalkan mereka. Namun, saat ada kepastian pemanggilan, kami berikhtiyar dan bertawakkal.
Allah yang menciptakan langit tanpa retak Maha Mengatur semua hal. Kami dapat melewati hari-hari ketika berjarak, kami di Tanah Suci dan anak-anak melanjutkan aktivitas studi mereka. Di antaranya Allah mengirim teman yang setia dan terpercaya membantu sejak sebelum berangkat hingga setelah pulang dan yang utama saat kami tengah beribadah ke Baytullah. Tentu pula ada yang lainnya dari kerabat, tetangga dan banyak pihak yang bahkan kami tak menduga.
Kami merasa amat berat, di antaranya, saat si adik sakit sementara kami tak dapat menunggui di sampingnya. Alhamdulillah bulik atau tantenya dan seorang bidan yang dekat dengan keluarga kami menjadi sarana Allah memberikan kesembuhan. Kami pun menjadi tenang. Allah yang Maha Penolong yang menjamin hidup dan mati kita. Waj'alliy minladunka sulthaanannasyiira.
Waktu di Mina itu lho .... terasa tidak menyenangkan. Tinggal di tenda, berdesakan, harus antri di toilet...., cerita ibunya anak-anak pada tamu yang datang ke rumah kami. Penulis mengklarifikasi bahwa itu kesan pribadi.
Maklum istri sejauh ini termasuk orang yang kurang suka kegiatan luar rumah. Sejak sekolah pun tidak senang yang namanya perkemahan Pramuka. Ia juga bukan dari keluarga petani, misalnya, yang tak asing dengan keadaan darurat. Beda dengan penulis yang pernah berkemah 16 hari pada Perkemahan Wirakarya 1993 saat kuliah. Agak menyombong, penulis tidak begitu merasa repot dan berat. Kalau terbiasa tertib situasi seperti hidup di tenda ya memang berat, Bu Iis Bu Guru SMA yang sutradara teater, tamu lainnya, ingin memaklumi dan mencoba mendudukkan persoalan.
Balasan yang dijanjikan khan surga. Jadi berhaji memang berat, kata Pak Ustadz Iful, salah satu pemateri bimbingan manasik saat berkunjung ke tempat kami. Ia yang betkali-kali menyertai jamaah ke Tanah Suci, baik haji atau umrah, tidak menolak kesan bahwa tidak mudah menjalani rangkaian ibadah haji. Namun tidak semua sisi tidak enak. Menunaikan rukun Islam kelima patut disyukuri dan secara manusiawi membanggakan. Setiap yang kesana umumnya ingin berkesempatan dapat kesana lagi.
Sementara ada teman yang tahun lalu menunaikan haji tetapi ia tidak punya pengalaman seperti kami. Ia mengikuti KBIHU dari daerah lain, kampung halaman istrinya. Kami tanggal 8 Dzulhijjah melakukan tarwiyah menginap di tenda Mina sehari semalam, 5 waktu shalat. Begitu juga saat dari wuquf di Arafah kami mabit di Muzdalifah hingga Subuh. Penulis dapat tidur nyenyak waktu itu. Saat di Mina lagi, kami pun mengambil nafar tsani, empat hari ke jamarat. Pengalaman kami yang selalu berusaha mengambil yang afdhal dianggapnya lebih menantang.
Penulis yang baru pertama ke luar negeri, baru sekali menginjakkan kaki di kota kelahiran Rasuulullah Muhammad shalallaahu 'alayhi wasallam dan kota tempat hijrah beliau, merasa tak terkira kesan yang didapat. Kami yang berangkat di gelombang awal, setelah beberapa hari di Madinah Al Munawwarah, ada perasaan berat saat meninggalkannya untuk bergeser ke Makkah Al Mukarramah.
Sesudah beberapa pekan di kota kelahiran Nabi SAW ini pun kami merasa terlalu cepat untuk ke puncak haji di Armuzna, Arafah, Muzdalifah dan Mina. Hingga akhirnya kami pun kembali ke tanah air. Selama 40 hari di Tanah Suci terasa masih kurang biarpun tentu kami rindu keluarga. Kami berdoa semoga Allah menjadikan haji kami mabrur dan dosa kami terampuni.
Allaahummaj'alnaa hajjan mabruuran wasa'iyyan masykuuran waddzanban maghfuuran watijaaratan lantabuura. Aamiin.
Penulis membuat beberapa tulisan, membuat banyak video yang sudah di-share, namun tetap lebih banyak yang belum mampu diungkapkan. Melihat Madinah dan Makkah modern sekarang, penulis membayangkan seandainya Rasuulullah Muhammad shalallaahu 'alayhi wasallam masih ada di tengah kita. Aah...pikiran ini terlalu ngelantur...
Segera menutup tulisan pendek ini, penulis melontarkan kesan yang barangkali buru-buru. Bahwa even berkumpulnya manusia yang berlangsung terus setiap tahun, bahkan pula sepanjang tahun, tidak ada yang lebih besar dibandingkan berkumpulnya jamaah haji dan umrah di Baytil Haram di Makkah dan Madinah. Ma sya Allaah.
Innasshafa walmarwata min sya'aairillaah.
_____
Mantup Lamongan, Selasa 2 Juli 2024
Tidak ada komentar:
Posting Komentar