Bambang S. Mantup
Pembelajar di IRo Society
____
Saya ingin menulis terkait tokoh Joko Tingkir jauh sebelum sekarang. Tidak semata ketika mendengar
sebuah lagu diputar dan seorang teman bilang bahwa syair parikan yang menyebut salah satu nama kecil
Sultan Pajang itu dianggap kurang tepat. /Joko Tingkir ngombe dawet/ jo dipikir marai mumet/ Hal itu
memang menarik perhatian terkait kualitas karya seni yang dikonsumsi orang banyak. Ada pula seorang
teman penulis dari pantura Lamongan yang memajang fotonya di IG dengan latar makam Joko Tingkir. Ia
kebetulan juga cerita bahwa panitia karnaval di tempatnya melarang pemutaran lagu itu.
Saya memberikan sedikit komentar pada postingan di akunnya di atas. Saya menyebut seputar
kontroversi apakah tokoh dalam sejarah itu terkait dengan sejarah wilayah dan masyarakat Lamongan
atau tidak. Tidak cukup dengan mencantumkan narasi pendek di medsos tadi, teman yang produktif dan
inspiratif itu pun kemudian memposting artikel tentang aktivitasnya.Tulisan tentang kunjungan ke situs
sejarah itu makin memancing dan memotivasi untuk membuat catatan urun rembug ini.
Tentu saja saya tak ingin membincangkan tokoh dalam sejarah terkait Islam di Indonesia itu dengan
sudut pandang pembelajar sejarah. Saya memang dulu mengambil jurusan A4 (Pengetahuan Budaya)
saat SMA, yang entah program itu masih ada atau tidak sekarang. Pasti tak banyak yang didapatkan di
dalam overloaded curriculum kita. Walau demikian, hal itu tetap memberi penguatan minat saya
terhadap isu sejarah. Misalnya, belasan tahun lalu sewaktu klub sepakbola milik daerah Persela
Lamongan melaunching julukan Laskar Joko Tingkir, itu sedikit menarik perhatian saya dan memunculkan
pertanyaan. Mengapa nama itu yang dipakai. Sayangnya referensi yang memuat alasan pemilihan nama
tersebut belum saya temui.
Lambat laun saya menjadi menahu dan mengira-ira bahwa pemberian nama Laskar Joko Tingkir tidak
sekedar asal pilih. Ternyata ada keyakinan bahwa tokoh itu terkait erat dengan tempat dan masyarakat
Lamongan. Semangat ketokohannya diharapkan menginspirasi dan memotivasi para pemain, pendukung
dan warga Lamongan secara umum. Dari mengobrol setengah diskusi dengan kerabat yang lulusan Ilmu
Sosial, saya mendengar di wilayah utara ada makam yang dianggap sebagai makam Joko Tingkir. Tak lupa,
adanya kontroversi pendapat juga disinggungnya pula. Baru sekarang ini mendapatkan gambarnya ketika
teman baik yang hampir tiap hari menulis itu memposting foto tempat bersejarah itu.
Sementara yang juga mengusik rasa keingintahuan saya adalah adanya pengakuan atau boleh dikatakan
klaim bahwa tokoh sejarah tersebut memiliki keturunan, di antaranya para pendahulu kami, di kampung
kelahiran saya. Kurang menahu apakah di tempat lain ada klaim serupa. Apabila ada, apakah silsilah yang
ditampilkan tersambung dengan yang ada di desa saya itu. Tak mudah diremehkan, di tempat kami yang
menyatakan adalah seorang pimpinan pondok pesantren yang saat masih hidup cukup terpandang pada
belasan tahun lalu tersebut. Yang menarik secara pribadi adalah ada nama buyut saya tertera di sana.
Barangkali kurang pas bila ada perasaan syukur bila itu benar, karena saya dapat menahu silsilah yang
jelas dari dari salah satu jalur kekerabatan. Ini teringat istilah di pelajaran Sosiologi Antropologi SMA.
Terlepas apakah itu penting atau tidak bila itu benar. Apalagi selalu membaca ayat inna akramakum
‘indallaahi atqaakum. Yang paling mulia di sisi Allah ialah yang bertaqwa. Begitu pun, profil seseorang
dalam sejarah itu amat beragam, lebih lagi jika berhubungan dengan kepentingan politik dan ideologi.
Melengkapi pemahaman tentang kehidupan keluarga, kita dapat membaca kisah Kan’aan, anak seorang
nabi tetapi tidak beriman. Sebaliknya, terdapat kisah Nabiyullah Ibrahim 'alaihi salam yang adalah anak
pembuat patung. Kita membaca pula kisah sebagian sahabat Rasuulullah Muhammad shalallaahu ‘alaihi
wasallam yang berhijrah dari keluarganya yang belum beriman. Kemudian jika menambah contoh
istimewanya hidayah Tuhan, istri Nabi Luth ‘alaihisalam adalah mendukung kaum Sodom. Sementara
istri Fir’aun justru adalah seorang hamba Allah yang beriman.
At last, ini adalah adalah rangkaian sedikit pengetahuan dan pendapat yang amat terbatas dari seorang
anak manusia pembelajar. Sesuai judul, bahasan bukan menilai suatu karya budaya apakah berkualitas
adiluhung atau rendahan. Penulis pun tidak berkapasitas membincang seberapa boleh dan penting
memberikan penghormatan kepada para pendahulu. Sebagai santri IRo, ini adalah tulisan dengan
semangat kecepatan mengalahkan kesempurnaan. Semangat berkarya untuk belajar menebar
kebermanfaatan. Selalu berharap ridha Allah subhaanahu wata’ala. Wallaahu a’lam.
__
Lamongan, Sabtu malam Ahad 3 September 2022 / 6 Shafar 1444 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar