Bila anak-anak, para siswa, mempunyai idola atau teladan yang tak jauh umurnya di atas mereka, maka guru yang sudah jauh usianya melebihi mereka tak boleh merasa ditinggalkan. Anggap saja itu alamiah anak-anak. Mereka tentu saja lebih mudah meniru kakak-kakak atau orang yang berusia beberapa tingkat saja, dari pada para guru yang seusia bapak atau pun kakek mereka. Walaupun demikian, anak-anak adalah jiwa-jiwa suci yang tak mudah menyepelekan apa yang ada di sekeliling mereka. Anak-anak dengan tulus tetap akan menghormati siapa saja yang mereka lihat lebih tua, asal mereka mengenal. Tak kenal maka tak sayang. Para guru sekarang dituntut minimal mengenal para siswanya. Bahasa lainnya, silahkan kita menjadi kenalan anak-anak yang baik. In sya Allah tanpa paksa-paksa, suruh ini suruh itu, anak-anak akan cenderung mencontoh setiap kebaikan.
Pertanyaan, diskusi atau penataran tentang bagaimana metode mengajar yang efektif, bahkan soal bagaimana menjadi guru untuk kaum milenial atau generasi Z tak jarang kita temui. Setiap pendidik atau siapa pun yang concern atau punya perhatian terhadap keberhasilan pendidikan tentu tak pernah bosan dan henti berpikir, membincang dan mengupas persoalan seputar siswa, generasi kini, sekolah serta kurikulum pendidikan. Pembicaraan kadang tak dapat terkendali hingga rasan-rasan kebijakan dari otoritas terkait pendidikan.Semua orang memang boleh, berhak dan tak dilarang berbicara, selama itu bukan jenis pembicaraan yang mubadzir, tak berguna apalagi terlarang.
Yang mengemuka akhir-akhir ini adalah pendapat atau anggapan bahwa oleh sebab pengaruh teknologi informasi, tepatnya keberadaan hape atau gadget, dimungkinkan membuat para siswa arau anak-amak tak mudah dikendalikan. Guru tak lagi satu-satunya sumber ilmu. Kurikulum yang ada sebagian terkesan telat update, kadaluwarsa, tak sesuai perkembangan jaman. Tempat belajar pun tak nyanan bila tak memberikan kebebasan sebagaimana saat para siswa di tempat bermain, di depan layar games, di warkop. Tentu sekolah pasti tak perlu sama dengan tempat-tempat tadi, setidaknya jiwa bebas mereka yang tidak mudah betah perlu tersedia saluran ekspresinya.
Ada sekolah kreatif, sekolah alam, sekolah billingual, homeschooling atau bentuk ijtihad pendidikan lainnya patut diapresiasi. Sebagai tempat pelayanan umum atau public service, sekolah harus melakukan penyesuaian dengan klien, konsumen, yakni murid dan wali murid. Yang tetap harus dijaga, tak boleh ditawar, tentu kualitas. Persaingan di antara lembaga pendidikan pun hendaknya dengan berlomba dalam kebaikan, penaikan mutu. Kesediaan berjibaku dengan kualitas patut menjadi prinsip, hingga ada sekolah-sekolah yang menjadikannya sebagai ikon sekolah. Misalnya, SMK Mutu di Gondanglegi adalah akronim SMK Muhammadiyah 7.
Lembaga, institusi, organisasi, badan usaha atau korporasi apa saja akhirnya tergantung pada sumber daya manusia atau SDM di dalamnya. Di lembaga pendidikan, tentulah peran guru yang utama yang menjadi ujung tombak keberhasilan pendidikan. Fasilitas pembelajaran, manajemen sekolah, kepemimpinan oleh kepala sekolah, serta kurikulum adalah penting semua. Walaupun demikian, keberadaan guru adalah yang paling utama. Fasilitas dan manajeman dapat diatasi secara terbatas oleh guru. Tentang peran sentral seorang guru, maka guru mendapat sebutan kurikulum berjalan. Pendidikan, oleh karena itu, identik dengan guru dan murid saja, yang lainnya nomor sekian.
Jadi seperti apa peran yang dilakukan guru di era sekarang adalah amat penting dipahami. Masing-masing guru diharapkan dapat menempatkan diri dan memerankan diri secara tepat di tengah-tengah anak didik di setiap kelas secara adaptif. Setiap kelas berbeda dengan kelas lainnya dari sisi latar belakang tiap siswa, minat dan kompetensi. Bahkan jam tatap muka siang hari di atas pukul 13 pasti berbeda dengan jam awal di pagi hari pada pukul 7. Belum lagi materi apa 2yang sedang disampaikan juga menentukan minat dan perhatian siswa. Kondisi dan kemudian penampilan guru memang menjadi faktor, namun aspek-aspek dari sisi murid dan kurikulum itu sendiri pun cukup menentukan.
Memang ada kecenderungan sebagian orang menilai pendidikan dari sisi guru saja tetapi tanpa disertai apresiasi yang memadahi mengenai seberapa besar tantangan yang dihadapi. Idealnya para guru adalah seperti artis yang sedang di panggung yang tampil memukau. Padahal para entertainer itu menghibur hanya dalam waktu terbatas, beberapa saat saja. Mereka memiliki persiapan yang cukup seiring mereka terima tawaran manggung dengan tarif yang diminta. Sementara guru di tengah-tengah siswa dalam waktu yang cukup lama, marathon, dengan janji penghargaan agar Allah sendiri yang balas.
Bila guru dituntut tampil selalu memukau, tak pernah marah, menghadapi puluhan siswa di kelas, memang idealnya demikian. Sama halnya para artis tadi menghadapi anak-anaknya sendiri di rumah, 2 atau 3 putra putri saja, dapatkah untuk selalu memukau, manis dan sama sekali tidak marah?
_______
Lamongan, Sabtu 21 Sept. 2024 / 17 Rabiul Awal 1446 H