Kamis, 17 Oktober 2024

Bukan Guru yang Memintarkan, Bukan Dokter yang Menyembuhkan




Bukan guru yang memintarkan murid. Guru mengajar mudah atau susah tergantung input proses penerimaan siswa. Ada yang dari rumah membawa potensi lamban, ada pula yang cerdas, bahkan bisa jadi ada yang lebih berpotensi dari dirinya. Paling tidak itu mungkin terbukti saat dewasanya kelak. 

Bukan dokter yang menyembuhkan. Nyatanya, tak jarang kita dengar ada dokter yang menderita penyakit tertentu. Bukan orang tua yang menghidupkan. Si ayah dan ibu pun tak dapat jamin keselamatan keluarga dan diri sendiri.

 Bukan Nabi yang memberi petunjuk. Bahkan Rasulullah Muhammad shalallaahu 'alayhi wasallam sebetulnya menginginkan sang paman, Abi Thalib, agar beriman. 

Tentara pun bisa saja dijambret. Kantor polisi pun dapat kemalingan. Aparat keamanan juga tak luput pernah mengalami gangguan kejahatan. 

Di pondok pun ada kejadian kemaksiatan. Berita kasus asusila atau kekerasan, bullying, di pesantren terdengar tidak nembahagiakan, tetapi kejadian kasuistis itu dapat dilakukan oknum tertentu. 

Di departemen agama terjadi korupsi. Maka tak hanya white collar crime yang diartikan penjahat kerah putih, penjahat berdasi, namun yang berkopyah pun dapat melakukan penyimpangan. 

Di dunia pendidikan terjadi praktik ketidakjujuran. Demi prestasi, upaya yang tak sesuai akal sehat dipraktikkan pihak sekolah.

Ada ironi lainnya. Orang pandai, sarjana, perwira atau yang lebih tinggi, justru merendah, menghamba pada dukun yang disebut orang pintar. Pengusaha kaya masih saja curang mencari laba, lebih serakah dari pada yang masih kelaparan. 

Yang berkedudukan tinggi malah ketakutan akan nasib diri dan keluarga, alih-alih mengayomi dan melindungi sesama. Yang tinggal di perkotaan merindukan makanan dan suasana tradisional. Yang berada di negeri maju justru menikmati peradaban jahili, menanggalkan pakaian bugil telanjang. Sikap rasional dicampur klenik dan mistis. 

The last but not the least, ada pernyataan yang menarik dicermati.  Yang disebut kebenaran baru adalah tidak berdasar data, fakta, tetapi berdasar persepsi. Kita boleh menduga bahwa, pemikiran ini mirip orang jahiliyah yang lebih percaya anggapan, angan-angan atau tahayul dari pada menggunakan akal sehat. 

Mereka lebih mengagungkan patung, ruh orang mati, dari pada Tuhan Pencipta segala ruh serta seluruh alam.  Berpikir yang masuk akal itu sebenarnya justru yang sederhana dan tak susah dipahami.  

_______ 

Lamongan 17 Okt. 2024

Tidak ada komentar:

Gus Miftah dan Gaya Bicara untuk Orang Pinggiran

Nik durung entek es tehmu, yo konoo terusno dodol,....goblok .. (Kalau es tehmu belum habis, ya sana teruskan jual  ..goblok ...) ...ha ha h...